Pengalaman sebagai relawan bencana menggerakkan Yayat Hasatul Hasani memanfaatkan handie-talkie (HT) sebagai alat belajar-mengajar. Murid-muridnya juga senang karena setidaknya setiap hari bisa bertemu dengan sebagian teman.
SAHRUL YUNIZAR, Ciamis
Hari masih pagi, belum pukul 07.30. Dingin masih terasa di Desa Pasawahan, Kabupaten Ciamis, yang dikelilingi perbukitan pada Jumat (3/9/2021) pekan lalu itu. Dan, Opet baru beberapa jam lalu tidur setelah semalaman berbincang dengan kami.
”Bila, masuk Bil?” tanya Opet, wali kelas IV di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pasawahan, lewat HT. Tak lama, jawaban datang dari ujung sana. ”Iya, Pak. Masuk, Pak,” jawab Debila Zahra Meifa, salah seorang muridnya.
Pelajar 10 tahun itu membalas panggilan Opet dari rumahnya. Di sana 10 siswa sudah ikut bergabung.
Menyusul satu per satu nama lain dipanggil Yayat. Presensi. Juga di satu kelompok murid lainnya. Semua lengkap. Pelajaran pagi itu untuk murid kelas IV pun siap dimulai.
Sudah setahun ini Opet menjalankan pembelajaran jarak jauh (PJJ) lewat perantaraan HT. Sinyal seluler memang ada di desa yang berjarak lebih dari dua jam perjalanan menaiki mobil dari pusat kota Ciamis itu. Tapi, sinyal tak merata.
”Rescue kan juga biasa pakai HT kalau masuk-masuk daerah yang nggak ada sinyal (telepon genggam),” ujar Opet yang punya banyak jejaring di Radio Antarpenduduk Indonesia (RAPI) dan Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia (ORARI).
Apalagi, banyak muridnya yang tak punya gawai, komputer meja, tablet, maupun laptop. ”Ada yang sampai jual kambing, jual motor, untuk beli HP (handphone),” ungkapnya.
Jauh sebelum pandemi Covid-19 yang memaksa dijalankannya PJJ, para murid MI Pasawahan sebenarnya sudah terbiasa belajar di luar ruang kelas. Gempa yang mengguncang Priangan Timur pada 2017 merenggut seluruh bangunan MI swasta tersebut. Memang tak semua rata dengan tanah. Namun, seluruh bangunan yang tersisa dinyatakan tak layak pakai. Kalau terus digunakan, bangunan itu berbahaya dan bisa mengancam keselamatan para siswa.
Apalagi, hasil asesmen badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa tanah tempat sekolah itu berdiri rawan gempa. ”Pilihannya sekolah harus direlokasi,” kata Opet.
Dari kepala sekolah sebelumnya, mereka mencicil membeli tanah. Sementara, untuk membangun ruang-ruang kelas, mereka harus urunan dan mencari bantuan. Belum lama ini, bantuan datang dari PLN Disjabar. Total, dua kelas sudah selesai dibangun. Pengerjaan empat kelas lainnya belum dimulai.
Karena itu, begitu pandemi datang, Opet semakin meyakini bahwa HT adalah jawaban yang tepat. Bermodal tiga unit yang sudah dimilikinya, ayah dua anak tersebut mulai mewujudkan idenya. Tugas belajar-mengajar dia lakukan dari rumah. Mengikuti kebijakan pemerintah tentang PJJ. Yang beda hanya alatnya.
Kategori :