Menjadi Guru Responsif Budaya: Belajar dari Tantangan dan Transformasi
Abdullah Mufti Nurhabib, M.Pd.I., Pendidik di SMPIT Daarul Anba Kota Tasikmalaya. istimewa for radartasik.com--
DI ruang kelas yang penuh warna, setiap anak membawa latar belakang budaya, bahasa, dan nilai-nilai keluarga yang berbeda.
Ada yang tumbuh di lingkungan pasar, ada yang berasal dari kampung nelayan, dan ada pula yang terbiasa dengan pola hidup perkotaan.
Keberagaman ini adalah potret kecil dari Indonesia sekaligus tantangan besar bagi guru yang ingin menghadirkan pembelajaran yang adil, bermakna, dan menghargai identitas setiap anak.
Dalam konteks inilah pendekatan Culturally Responsive Teaching (CRT) menjadi penting.
BACA JUGA:Tumbal Darah, Film Horor dengan Pesan Kemanusiaan di Tengah Tekanan Hidup dan Pandemi
CRT mengajak guru untuk tidak hanya mengajar isi pelajaran, tetapi juga mengenali siapa yang sedang diajar: cara mereka berpikir, berkomunikasi, dan memaknai dunia.
Guru menjadi jembatan yang menghubungkan budaya rumah, sekolah, dan masyarakat dalam satu kesatuan pembelajaran yang hidup.
Namun, perjalanan menuju kelas yang responsif budaya tentu tidak mudah. Banyak guru menghadapi kenyataan bahwa:
Keragaman siswa sangat kompleks dan sulit dipahami sepenuhnya.
BACA JUGA:Pemkab dan Pemkot Tasikmalaya Kolaborasi Kelola Aset untuk Tingkatkan Pelayanan Publik
Pengetahuan guru tentang budaya siswa masih terbatas, sehingga kadang muncul jarak kultural.
Kurikulum sering terasa kaku, belum selalu memberi ruang eksplorasi budaya lokal.
Bias tidak disadari (unconscious bias) bisa muncul tanpa sengaja dalam interaksi di kelas.
Dukungan institusional masih minim, sehingga guru yang berinovasi sering merasa berjalan sendirian.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: