Menjadi Guru Responsif Budaya: Belajar dari Tantangan dan Transformasi
Abdullah Mufti Nurhabib, M.Pd.I., Pendidik di SMPIT Daarul Anba Kota Tasikmalaya. istimewa for radartasik.com--
BACA JUGA:TMMD Koarmada RI Dorong Pemerataan Pembangunan dan Kesadaran Bela Negara di Kota Tasikmalaya
Ketika merancang proyek lintas mapel bertema budaya lokal, seluruh sekolah akan ikut merasakan semangat kebersamaan.
Keenam, menciptakan sumber belajar kontekstual.
Keterbatasan bahan ajar bisa menjadi peluang untuk berinovasi.
Guru dan siswa dapat membuat bahan belajar bersama mulai dari cerita rakyat, video lokal, hingga studi lapangan di masyarakat.
BACA JUGA:Semakin Matang! Bek Fenomenal Persija Binaan Persebaya Kian Tangguh di Usia Muda
Bahan ajar yang dibuat siswa sendiri membuat mereka merasa dihargai sekaligus menjadi sumber belajar yang hidup.
Ketujuh, membangun relasi hangat dan aman secara emosional.
Suasana kelas yang inklusif dibangun dari rasa saling percaya.
Aktivitas pembuka yang ringan, saling berbagi cerita budaya, dan kerja kelompok lintas latar belakang membantu siswa merasa diterima apa adanya.
Saat siswa merasa diterima tanpa syarat, mereka belajar dengan hati yang tenang.
Menjadi guru yang responsif budaya bukan soal seberapa banyak metode kita kuasai, melainkan seberapa dalam kita memahami manusia di hadapan kita.
CRT menuntun guru untuk hadir sepenuh hati mendengarkan, menghargai, dan menumbuhkan setiap murid sesuai akar budayanya.
Keberagaman bukanlah tantangan yang perlu dihindari, tetapi sumber belajar yang harus dirayakan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: