Teater Made in China Ungkap Ketergantungan pada Produk Asing dengan Sentuhan Humor Kritik Sosial

Teater Made in China Ungkap Ketergantungan pada Produk Asing dengan Sentuhan Humor Kritik Sosial

Ngaosart Foundation menampilkan naskah teater Made in China di Studio Ngaosart Kota Tasikmalaya, Kamis 19 September 2024. ayu sabrina / radar tasikmalaya--

TASIKMALAYA, RADARTASIK.COM – Di sebuah ruangan dengan nuansa modern yang dilengkapi lukisan ikan koi dan lampu gantung kayu, seorang ibu dan anak terlibat dalam percakapan filosofis tentang dominasi produk asing di tanah air. 

Pertanyaan sederhana sang anak, "Kenapa semua benda bertuliskan 'Made in China'?" memicu diskusi yang lebih dalam, mencakup identitas budaya dan ketergantungan masyarakat pada produk luar.

Percakapan ini bukanlah kejadian sehari-hari, melainkan bagian dari pementasan teater berjudul "Made in China" yang digelar di Studio Ngaosart, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, pada Kamis 19 September 2024 dan Jumat 20 September 2024. 

Sutradara sekaligus pencipta naskah, AB Asmarananda, menjelaskan bahwa pementasan ini tidak sekadar mengomentari invasi produk Tiongkok, tetapi juga menyentuh dinamika sosial dan budaya yang kompleks.

BACA JUGA:Banyak Lansia Butuh Perhatiannya, Muhammad Yusuf Semakin Gencar Turun ke Lapangan

"Made in China memiliki makna yang lebih dalam. Pementasan ini pernah tampil sebagai teater tubuh di Kalimantan, namun di sini kami mengubahnya menjadi teater kata-kata," ujar AB di hadapan penonton.

"Produk Tiongkok sudah meresap ke dalam kehidupan kita. Mungkin jika jantung saya pecah, saya akan menggunakan jantung buatan China yang murah tapi rapuh," sambungnya.

Humor dan Kritik Sosial

Pertunjukan ini dipenuhi dengan dialog absurd yang menggabungkan humor, kritik sosial, dan percakapan filosofis antara ibu dan anak. 

BACA JUGA:Ketua Fraksi PKB DPRD Tasikmalaya Komitmen Kawal Perda Fasilitasi Pesantren

Ibu berusaha menjawab pertanyaan sang anak dengan bijaksana, meski terkadang jawaban tersebut terasa abstrak.

Adegan ini menggambarkan kesenjangan generasi dalam memahami modernitas.

Menurut AB, pertanyaan kritis anak dalam teater ini sering kali memadukan humor dengan tema eksistensial seperti agama, sejarah, dan identitas diri. 

Misalnya, sang anak bertanya, “Kenapa otakku sedikit, Ibu?" atau "Apakah kita harus mati dulu untuk ke surga?". 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: