Kompor Politik
PLN sukses konversi 1.000 kompor LPG ke kompor induksi.-Foto: Istimewa-
Kang Sabarikhlas
"Habis gelap, nDladap-ndladap". Tadi saya alami...lha wong nganggur ketiduran diteras sayup-sayup dengar suara adzan, langsung bangkit jalan kepleset minyak, kesandung tabung Lpg 3kg kosong, badan oleng kepala kebentur meteran listrik didinding!.. Alhamdulillah,.nikmat mana lagi yang kau dustakan... jujur saja kepala saya pusing-sing.!.. eh..selagi duduk bertahan tenangkan diri, mata melihat Bentor parkir depan rumah ada tulisannya Pulih lebih cepat, Bangkit lebih kuat.... Semoga....Aamin.
Budi Arianto Tarjak
Karena tahu Abah jualan listrik, sebelum 1/4 baca tulisan hari ini persepsi langsung kebentuk kalau Abah berat sebelah. Nggak dibahas kenapa harga LPG kita itu jadi lebih mahal? Komponen prokduksi LPG yg mana bikin mahal? Kenapa proyek Pipanisasi Gas akan lebih mahal dibandingkan dengan memaksimalkan Listrik? Katanya kita banyak Gas, meskpiun sebagian sudah di export ke Fujian. Di negara maju bukannya energi pembangkit listrik pun Gas? dan meskpiun listrik nya ada, masyarakat tetap boleh pasang instalasi gas untuk rumah.
EVMF
Milton H. Spencer dan Orley M. Amos, Jr. didalam bukunya "Contemporary Economics" mengatakan bahwa subsidi, baik itu berupa "cash transfer" maupun "in kind subsidy" mestinya untuk "mencapai tujuan tertentu" yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Disini sepertinya, jangankan kesepahaman untuk mencapai tujuan tertentu; cara pandang terhadap subsidi-pun, baik itu cara pandang "profit loss" maupun "cost lost" selalu saja menjadi perdebatan yang panjang. Pendekatan "profit loss" : subsidi diartikan sebagai selisih antara harga jual dan harga pokok, yakni berupa laba; laba tersebut yang kemudian ditanggung oleh Pemerintah, sehingga subsidi adalah kebijakan menjual komoditas dengan harga pokok. Bagaimana jika Pemerintah sendiri sebagai produsen komoditas tersebut? Sebagai contoh, Pemerintah (BUMN) sebagai produsen LPG, menjual dengan harga pokok, maka produsen LPG (Pemerintah/BUMN) tidak untung dan juga tidak rugi selama masa subsidi berlangsung; sehingga dapat disimpulkan bahwa Pemerintah tidak mengeluarkan anggaran untuk subsidi, kecuali menjualnya di bawah harga pokok.
Ahmad Zuhri
Ga usah banyak mengeluh, nanti dikira kita kurang bersyukur.. Ga usah banyak protes, nanti dikira kita tidak bisa mencari solusi dan kurang adaptif terhadap perubahan.. Ga usah membandingkan dengan yg lain, daripada kita tidak siap dengan kenyataan.. Lha trs gimana.. yo ndak tau, kok tanya saya hehehe..
EVMF
Sedangkan pendekatan "cost lost" : subsidi diartikan sebagai silisih antara harga pasar dan harga jual saat ini. Sebagai contoh, katakanlah harga jual LPG saat ini senilai "satu P (1P)" ; sedangkan harga pasar LPG adalah "satu koma tiga P (1,3P)". Maka selisih antara harga pasar dan harga jual senilsi 0,3P dianggap sebagai biaya atau kerugian. Sepertinya saat ini, transparansi informasi mengenai data-data per-subsidi-an sangat penting untuk diketahui publik.
Pryadi Satriana
KALAU MEMANG BENAR, subsidi listrik - berikut penyediaan kompor listrik - harus segera direalisasikan. Kalau dilihat dari konsumsi daya listrik per kapita, kita ketinggalan bahkan dari Vietnam, padahal 'income per kapita' kita di atas Vietnam. Artinya apa? Kesenjangan ekonomi kita 'lebih besar' (baca: lebih memprihatinkan) drpd Vietnam. Belum lagi kalau dibandingkan negara2 G20: konsumsi daya listrik kita paling rendah, 'mbuncit', di urutan terakhir. Turki 3.300kWh, 3x Indonesia. Korea Selatan 11.000kWh, 10x Indonesia. Indonesia bisa masuk G20, tapi paling 'ndhesit', masih puluhan juta rakyatnya yg 'terpaksa hidup' dg daya listrik 450VA. Sedih saya. Sedih sekali. Dg daya 450VA, kalau masak nasi pakai rice cooker Philips ya langsung 'njeglek'. Jadi anggota G20 itu ternyata seperti 'angin surga', seolah-olah kita ini 'keren', padahal 'kere'. Terbelakang. Belum bisa menikmati perkembangan teknologi. Puluhan juta yg 'njeglek' kalau pakai rice cooker Philips yg kebutuhan daya listriknya lebih dari 600VA. Duuh ... sedihnya. Sudah 77 th merdeka, kesenjangan kaya-miskin masih menganga lebar. Banyak yg masih belum punya rumah. Bahkan tanah sejengkal pun tak punya, sementara punya Boy Thohir 'sak arat2'. Gitu dg entengnya Luhut bilang,"Sudah rejekinya Boy Thohir." Ahh ..., asal 'njeplak', ndhak punya empati sama yg ndhak punya tanah! Apa memang juga 'kebetulan' dan 'rejekinya Boy Thohir' kalau tanahnya yg 'sak arat2' itu dekat dg IKN? Atau krn masih 'sodara' dg Erick Thohir? Salam.
*) Dari komentar pembaca http://disway.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: