BPNT Dicairkan Secara Tunai Tapi Dipaksa Belanja Barang Kualitas Buruk
Reporter:
andriansyah|
Selasa 01-03-2022,11:40 WIB
radartasik.com, RADAR TASIK — Diubahnya pencairan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) ke dalam bentuk tunai tidak berarti menjadi solusi. Ada saja pihak-pihak yang memaksa secara tidak langsung agar uang itu dibelanjakan di tempat tertentu.
Berdasarkan kebijakan yang baru,
BPNT diberikan secara tunai kepada Kelompok Penerima Manfaat (KPM). Nilainya adalah Rp 600 ribu untuk hitungan tiga bulan.
KPM diberi kebebasan untuk membelanjakan uang tersebut di mana saja, bukan lagi E-Warong yang ditunjuk pemerintah. Namun uang tersebut tidak boleh dibelanjakan sembarangan.
Faktanya, penyaluran
BPNT di Tasikmalaya baik Kota maupun Kabupaten masih memunculkan polemik. KPM dipaksa secara tidak langsung untuk membelanjakan uang bantuan di E-Warong.
Seperti yang diungkapkan salah seorang KPM di Kelurahan Tanjung Kecamatan Kawalu. Dia bercerita, pada Jumat (25/2/2022), dia mengambil uang
BPNT di kelurahan.
“Uang yang diterima Rp 400 ribu, Rp 200 ribu lagi harus dibelikan paket (sembako),” ujarnya perempuan yang enggan disebutkan identitasnya, Senin (28/2/2022).
Paket sembako yang dimaksud yakni beras, telur, daging ayam dan apel. Melihat kualitas barang yang buruk, menurut dia, harga barang itu tidak sampai Rp 200 ribu. “Misal beras, lebih baik beli sendiri karena bisa dapat yang lebih bagus,” ucapnya.
Padahal, dia mendengar di beberapa kelurahan para KPM menerima uang secara tunai. Tidak ada pengarahan untuk membeli barang di tempat tertentu atau yang disediakan panitia. “Kenapa di tempat saya berbeda,” ujarnya.
Hal serupa juga terjadi di beberapa kelurahan. Namun demikian masing-masing menggunakan pola berbeda untuk mengarahkan KPM dari mulai arahan langsung, atau memberikan kupon E-Warung.
Di wilayah Kecamatan Bungursari, aktivis pemuda Asep Depo mengatakan bahwa ada pihak-pihak yang sengaja menakut-nakuti KPM. Ketika tidak belanja di E-Warong maka mereka akan dicoret sebagai penerima gelombang berikutnya. “Warga yang takut akhirnya nurut saja,” katanya.
Padahal, lanjut Asep, paket yang diberikan tidak sesuai dengan takaran dan harganya. Ini jelas merugikan masyarakat yang menerima barang tidak sesuai. “Paling hanya sampai Rp 180 ribu saja, enggak sampai Rp 200 ribu,” ucapnya.
Pihaknya berencana akan melakukan audiensi ke DPRD agar menyikapi masalah ini. Pihaknya tidak ingin iktikad baik dari pemerintah pusat malah disalahgunakan di daerah. “Dari pusatnya ini sudah bagus, di daerahnya saja yang banyak permainan,” tuturnya.
Hal serupa juga terjadi di wilayah Kabupaten Tasikmalaya. KPM belum menerima uang tunai melainkan berupa paket barang.
Hal itu diungkapkan aktivis dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Fahmi Sidik yang menemukan ada kejanggalan dalam penyaluran
BPNT di wilayah Kecamatan Salopa.
Menurut dia, ada oknum yang sengaja mengelabui KPM yang tidak mengetahui kebijakan pemerintah. “KPM masih menerima dalam bentuk paket yang sudah ditentukan oleh beberapa pihak,” ucapnya.
Pihaknya meminta tim koordinator Kabupaten Tasikmalaya untuk bisa turun mengawasi pendistribusian bantuan tersebut. Supaya masyarakat bisa membelanjakan uang itu sesuai dengan kebutuhan. ”Harus ada monitoring dari kabupaten termasuk Dinas Sosial,” tuturnya.
Pihaknya meminta pemerintah bisa bersikap tegas kepada pihak-pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan warga dalam distribusi
BPNT ini. Atau sengaja menakut-nakuti warga demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Ajang Bisnis
Bagi sebagian pihak, program bantuan dari pemerintah merupakan potensi untuk berbisnis. Pihak-pihak tertentu akan selalu melakukan berbagai cara agar mencari keuntungan.
Hal itu diungkapkan Ketua Komisi IV DPRD
Kota Tasikmalaya Dede Muharam yang mengatakan
BPNT merupakan program sosial. Sangat disesalkan di kaca mata beberapa orang hal ini menjadi lahan bisnis. ”Ya susah kalau mindset-nya masih bisnis,” ujarnya kepada
Radar, Senin (28/2/2022).
Maka dari itu, sebaik apa pun konsep dan programnya, pada akhirnya akan menuai persoalan. Karena kepentingan bisnis yang berlebihan akan mengubah realitasnya.
Menurut dia, jika program ini dilaksanakan murni untuk sosial, maka ceritanya akan berbeda. Jika pun ada yang memanfaatkannya sebagai potensi bisnis maka harus bisa jujur. “Harganya harus sesuai pasar juga, jangan ditinggikan,” tuturnya.
Dia mengaku banyak mendapat laporan dari berbagai wilayah mengenai
BPNT. Hal ini pun akan dibahas dengan Komisi IV dan juga mempertanyakannya dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Tasikmalaya. ”Kalau yang mengadu sudah banyak,” ucapnya.
Dalam hal ini seharusnya pemerintah kota dan Dinas Sosial bisa hadir menengahi polemik ini. Jelaskan secara lugas kepada masyarakat bahwa warga bebas membelanjakan uang tersebut di mana pun. ”Seperti Bupati Ciamis yang menjelaskan urusan
BPNT secara terang,” tuturnya.
Dengan hadirnya pemerintah kota dalam distribusi
BPNT, maka KPM tidak akan bingung. Mereka pun punya kekuatan untuk menolak ketika ada yang mengarahkan untuk membeli paket sembako. ”Makanya wali kota dan Dinas Sosial jangan diam saja,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial
Kota Tasikmalaya Hendra Budiman belum memberikan keterangan. Saat dikonfirmasi melalui telepon, dirinya belum memberikan respons.
Tak Sesuai Harapan
Koordinator Aliansi MahaAsiswa dan Aktivis Tasikmalaya (Amati) Fatthurochman mengatakan, di lapangan penAdisAtribusian
BPNT berAjalan tidak seAsuai harapan. Nyatanya, seAjumlah pejabat di level kecamatan, keAlurahan bekerja sama dengan penAdamping proAgram. MeAreka meraup keAuntungan besar dengan memanfaatkan program bagi warga tidak mampu itu.
“Hal ini terjadi di beberapa kelurahan di Kecamatan Cibeureum
Kota Tasikmalaya. Sebelum proses penyaluran kepada KPM, pihak camat melakukan pertemuan di kecamatan dengan seluruh lurah serta pendamping tingkat kelurahan untuk melakukan briefing,” kata Fatthur kepada Radar, Senin.
Dia menceritakan, hasil briefing tersebut menjadi permainan “licik” dalam penyaluran program terhadap KPM. Melalui pola pemaksaan, supaya KPM langsung membelanjakan uang yang diterima seluruhnya ke E-Warong yang sudah ditunjuk. “Uang yang telah diterima sebesar Rp 600 ribu itu mesti dibelanjakan ke E-Warong yang telah ditunjuk di tempat penyaluran kelurahan masing-masing,” tuturnya.
Pihaknya menduga di setiap kelurahan sudah ditunjuk penyalur atau supplier komoditas bahan pangan tertentu. Itu kontan mengkhianati Permensos Nomor 5 Tahun 2021 Pasal 8 ayat 1 poin b. Di mana, E-Warong dilarang memaksa KPM melakukan pembelian bahan pangan tertentu dan dalam jumlah tertentu.
“Dari hal ini kita bisa melihat bahwa percepatan penyaluran bansos di daerah masih berantakan dan hanya menguntungkan segelintir orang saja, dan kejahatan ini dilakukan secara kolektif,” ujar aktivis mahasiswa tersebut.
(rga/igi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: