Thailand Akan Mempekerjakan Influencer Untuk Mendorong Kehamilan

Thailand Akan Mempekerjakan Influencer Untuk Mendorong Kehamilan

Radartasik.com, Wakil Menteri Kesehatan Thailand mengatakan bahwa pemerintahnya akan mempekerjakan selebriti dan influencer untuk mendorong pasangan muda memiliki anak.

Kebijakan tersebut merupakan salah satu dari beberapa tindakan pro-kelahiran yang diambil oleh pemerintah Thailand, negara ini sekarang mengalami penurunan jumlah populasi sebagai konsekuensi dari kampanye untuk menurunkan angka kelahiran pada tahun 1970-an.

Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan oleh surat kabar Thailand, Wakil Menteri Kesehatan, Satit Pitutecha mengatakan bahwa membawa para influencer ini menjadi “hanya satu contoh dari perubahan nilai” yang dianut oleh pemerintah.

“Kita harus berkomunikasi melalui orang-orang berpengaruh di semua lapisan masyarakat  bahwa  konsep memiliki anak akan memnuat bahagia adalah ide yang bagus,” kata Pitutecha dikutip dari Russian Today.

Langkah-langkah lain yang diambil oleh menteri termasuk pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil, peningkatan pembayaran kesejahteraan dan penggandaan cuti hamil yang diusulkan dari tiga menjadi enam bulan.

Thailand mengalami kritis populasi di masa depan, lima puluh tahun yang lalu perempuan Thailand rata-rata akan memiliki lima anak, di tengah kekhawatiran kelebihan penduduk, pemerintah pada tahun 1972 meluncurkan kampanye untuk menurunkan angka kelahiran. Salah satu pesan kunci kampanye diterjemahkan sebagai “Lebih banyak bayi, lebih banyak kemiskinan.”

Akibatnya, entah karena kampanye atau tidak, tingkat kelahiran turun dan tingkat kesuburan negara itu turun hampir empat kali lipat menjadi 1,51 tahun lalu.

Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional negara itu baru-baru ini memperkirakan bahwa pada tahun 2025, seperlima penduduk Thailand akan berusia di atas 60 tahun dan total penduduk negara itu akan turun dari 70 juta menjadi 40 juta di tahun-tahun sesudahnya.

Laporan di media Thailand mengklaim bahwa ekonomi negara itu sama sekali tidak mendorong menjadi orang tua, dan bahwa kaum muda memilih untuk menghindari “beban” finansial untuk memiliki anak.

Namun, Pitutecha mengatakan bahwa insentif ekonomi hanya dapat berjalan sejauh ini, mencontoh Singapura yang membagikan subsidi yang melimpah untuk setiap anak yang baru lahir tetapi belum berhasil membalikkan tingkat kesuburannya yang menurun.

“Uang bukanlah satu-satunya jawaban,” kata Pitutecha. “Masalah ini harus dipikirkan secara menyeluruh. Nilai bisa diubah.”

Thailand bukan satu-satunya negara yang bergelut dengan isu penurunan demografi. Setelah puluhan tahun tingkat kelahiran rendah, populasi Jepang mulai turun, dan orang tua merupakan bagian terbesar dari populasi di sana daripada di tempat lain di dunia.

Tingkat kelahiran di seluruh Uni Eropa juga mengalami penurunan yang tajam sehingga memicu perdebatan tentang bagaimana memperbaiki situasi tersebut.

Pemikir dan politisi di beberapa negara Eropa Barat telah menghadirkan peningkatan imigrasi sebagai solusi, meskipun beberapa orang Eropa menganggap imigrasi bermanfaat bagi negara mereka.

Sedangkan negara-negara Eropa Tengah yang lebih konservatif seperti Hongaria dan Polandia telah mendorong warganya untuk memiliki lebih banyak bayi , sambil menentang imigrasi. (sal)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: