Korupsi di Bawah Rp 50 Juta, Cukup Kembalikan Uangnya

Korupsi di Bawah Rp 50 Juta,  Cukup Kembalikan Uangnya

radartasik.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung menegaskan jika kasus korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 50 juta bisa diselesaikan dengan cara pengembalian uang tersebut.


”Untuk perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah memberikan imbauan kepada jajaran untuk tindak pidana korupsi kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta untuk diselesiakan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara,” ujar Jaksa Agung ST Burhanuddin usai rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kamis (27/1/2022).

Burhanuddin menjelaskan, langkah itu diambil agar proses penyelesaian perkara korupsi dalam bentuk kerugian negara di bawah Rp 50 juta bisa dilakukan cepat. “Sebagai upaya pelaksanana proses hukum secara cepat sederhana dan berbiaya ringan,” katanya.

Selain itu, Burhanuddin juga mengungkapkan hingga Januari 2022 ini tercatat masih ada 370 buronan atau daftar pencarian orang (DPO) yang belum tertangkap oleh jajarannya.

Burhanudin mengungkapkan pihaknya akan terus memburu 370 buronan yang masih bebas bekeliaran tersebut. “Jumlah DPO yang belum berhasil ditangkap adalah 370 orang,” ungkapnya.

Namun demikian, Burhanuddin juga membeberkan capaian lembaga yang dipimpinnya tersebut karena telah berhasil menangkap sebanyak 667 buronan sejak tahun 2018 hingga 20 Januari 2022 ini. “Jumlah DPO yang berhasil ditangkap sebanyak 667 orang,” imbuhnya.

Hanya saja, Burhanuddin tidak menjelaskan secara rinci siapa saja DPO yang belum berhasil ditangkap oleh jajarannya tersebut.

Jangan Dipenjara

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menginginkan pola penanganan terbaru menyangkut perkara korupsi yang melibatkan kepala desa. Kepala desa yang korupsi disarankan untuk tidak langsung diproses hukum.

”Kalau ada kepala desa taruhlah betul terbukti ngambil duit tapi nilainya enggak seberapa, kalau diproses sampai ke pengadilan, biayanya lebih gede,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam telekonferensi yang disiarkan di akun YouTube KPK RI, Rabu (1/12/2021).

Alex mengatakan kepala desa biasanya melakukan korupsi dengan nominal yang kecil. Nilai tersebut jauh dari biaya yang mesti dikeluarkan negara dalam pengusutan kasusnya.

”Artinya apa? Enggak efektif, enggak efisien, negara lebih banyak keluar duitnya dibandingkan apa yang nanti kita peroleh,” ujar Alex.

Alex meminta kepala desa dipaksa mengembalikan uang jika terbukti korupsi. Jika memungkinkan, kepala desa yang korupsi diminta dipecat.

Uang yang dikembalikan secara paksa itu kemudian harus masuk ke kas desa. Dengan begitu, masyarakat bisa kembali menikmati uang negara yang sudah dikorupsi.

“Ya sudah suruh kembalikan, ya kalau ada ketentuannya pecat kepala desanya. Selesai persoalan kan begitu,” ucap Alex.

Hingga kini, pemecatan kepala desa harus dilakukan atas perintah pengadilan. KPK ingin ada aturan baru untuk memecat kepala desa yang terbukti korupsi tanpa harus menunggu pengadilan.

“Mungkin dengan musyawarah masyarakat desa kan mereka yang memilih. Kita sampaikan, 'Nih kepala desamu nyolong nih, mau kita penjarakan atau kita berhentikan?' Pasti kan begitu selesai,” tutur Alex.

Langkah itu diyakini lebih efisien ketimbang memenjarakan kepala desa yang melakukan korupsi.

“Hal seperti itu kan juga membuat jera kepala desa yang lain. Tidak semata-mata upaya pemberantasan korupsi itu berakhir di pengadilan atau keberhasilan pemberantasan korupsi itu dengan ukuran berapa banyak orang kita penjarakan, enggak seperti itu,” ucap Alex.

Terpisah, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayoga mengatakan pihaknya menemukan empat penyebab korupsi dana desa yang marak terjadi.

“Faktor penyebab utama adalah pelibatan masyarakat yang kurang dalam proses perencanaan dan pengawasan dana desa. Akses masyarakat untuk mendapatkan informasi pengelolaan dana desa dan terlibat aktif dalam perencanaan dan pengelolaan dalam praktiknya dibatasi,” ujar Egi saat konferensi pers di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Timur.

Padahal, kata Egi, dalam Pasal 68 Undang-undang (UU) Desa telah mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa untuk mendapatkan akses dan dilibatkan dalam pembangunan desa.

Menurutnya, pelibatan masyarakat desa menjadi faktor paling dasar karena masyarakat desa-lah yang paling tahu kebutuhannya dan secara langsung menyaksikan bagaimana pembangunan di desa.

“Faktor kedua, terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa. Keterbatasan ini khususnya mengenai teknis pengelolaan dana desa, pengadaan barang dan jasa serta penyusunan pertanggungjawaban keuangan desa,” ungkap dia.

Lebih lanjut Egi mengatakan, faktor ketiga adalah tidak optimalnya peran lembaga-lembaga desa baik langsung maupun tidak langsung. Lembaga-lembaga desa, kata dia, tidak memainkan peran penting dalam pemberdayaan masyarakat dan demokrasi tingkat desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa atau BPD.

“Faktor keempat yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah penyakit cost politik tinggi akibat kompetitifnya arena pemilihan kepala desa. Meningkatnya anggaran desa diserta dengan meningkatnya minat banyak pihak untuk maju dalam pemilihan kepala desa tanpa agenda dan komitmen membangun desa,” tambahnya. (riz/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: