Kepala Badan Bahasa Ikut Komentari Soal Polemik Penggunaan Bahasa Sunda saat Rapat dengan DPR
Reporter:
radi|
Rabu 19-01-2022,10:20 WIB
Radartasik.com, JAKARTA - Polemik penggunaan Bahasa Sunda oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat saat rapat kerja dengan Komisi III DPR pada Senin (17/01/2022) lalu yang belakangan telah menimpulkan kegaduhan di tenbgah publik mendapat tanggapan dari Kepala Badan Bahasa, Kemendibudristek, E. Aminudin Aziz.
Menurut
Kepala Badan Bahasa Kemendikbudristek Aminuddin, tindakan Kerjaati Jabar yang menggunakan
Bahasa Sunda saat rapat dengan Komisi III
DPR tersebut tidak bisa serta merta disalahkan. Aminudddin menilai harus dilihat dari konteksnya dulu, apakah betul Kajati berbicara
Bahasa Sunda dalam rapat. Kemudian berapa banyak
Bahasa Sunda yang dipakainya. Selanjutnya, apakah pengunaan
Bahasa Sunda itu hanya menyisipkan beberapa kata, satu kalimat atau frasa saja.
"Konteksnya harus jelas dulu," kata Aminuddin kepada JPNN.com, Selasa (18/01/2022).
Kalau hanya ungkapan istilah, celetukan
bahasa Sunda, Jawa atau asing, menurut Aminudin, itu biasa saja dalam konteks komunikasi. Dan itu dinilainya sebuah kewajaran komunikasi yang ditemukan dalam pembicaraan siapa pun.
Pasalnya tidak pernah ada pembicaraan yang bebas 100 persen dari kemungkinan adanya percampuran istilah bahasa. "Jadi, tidak ada yang betul-betul murni," ucapnya.
Aminuddin mengatakan penggunaan
bahasa Indonesia yang betul-betul full akan sangat jarang. Orang pasti akan mencampurkan bahasa daerah atau asing saat berkomunikasi. Dia pun mengaku tidak tahu persis seberapa banyak
Bahasa Sunda yang diucapkan Kajati yang disorot
Arteria Dahlan itu, sampai ada desakan agar dicopot dari jabatannya.
"Itu bukan urusan pidana sehingga kurang relevan," tegasnya.
Lerbih lanjut Aminudddin mengungkapkan, mencampurkan dua bahasa dalam konteks tertentu kadang-kadang tidak bisa dihindari. Misalnya orang bicara tentang hukum, ada kata inkracht. Kata inkracht berasal dari bahasa Belanda.
"Jadi, bukan pidana," ujarnya lagi.
Lebih lanjut dijelaskan Aminudin, di dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lagu Kebangsaan, dan Lambang Negara yang dijabarkan di Peraturan Pemerintah, tidak ada sanksi pidana terkait penggunaan bahasa selain
Bahasa Indonesia di dalam forum-forum resmi.
Namun, sifatnya lebih pada kesadaran pengguna bahasa terkait dengan kebanggaan sebagai penutur
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Aminudin menegaskan di dalam forum-forum resmi, baik di dalam maupun luar negeri, para pejabat negara diwajibkan menggunakan
bahasa Indonesia. Contohnya, rapat kerja
DPR itu forum resmi. Ada kewajiban menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pembicaraannya.
Lantas apakah bahasa daerah atau asing diperbolehkan atau tidak? Menurut Aminudin, tidak boleh digunakan secara keseluruhan. Mengapa? Karena, kata Aminudin, bisa saja banyak orang yang tidak mengerti. Kecuali yang diundang
DPR atau oleh lembaga lain, tidak mengerti
bahasa Indonesia sehingga terpaksa menggunakan bahasa daerah.
Di ruang pengadilan juga demikian. Misalnya, kata Aminudin, ada seorang terperiksa apakah saksi, tersangka atau siapa pun yang diminta hadir di pengadilan. Yang bersangkutan tidak bisa berbahasa Indonesia, maka kewajiban pengadilan menghadirkan penerjemah yang disumpah.
"Intinya mencampurkan
bahasa Indonesia dengan bahasa daerah atau asing merupakan bahasa komunikasi yang wajar. Bukan tindak pidana," pungkas Aminudin.
Seperti diketahui polemik soal pengunaan
Bahasa Sunda mencuat dipicu pernyataan Anggota Fraksi PDI Perjuangan Komisi III
DPR Arteria Dahlan yang meminta Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memecat Kajati yang menggunakan
Bahasa Sunda saat rapat dengan lembaga wakil rakyat tersebut.
"Ada kritik sedikit Pak JA (Jaksa Agung), ada Kajati, Pak, dalam rapat dalam raker itu ngomong pakai
bahasa Sunda, ganti, Pak itu. Kami ini Indonesia, Pak," kata Arteria dalam rapat kerja antara Komisi III dengan Jaksa Agung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/01/2022). (esy/jpnn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: