Bubur Jagung

Bubur Jagung

Untuk tahun ini sudah terlambat. Sudah telanjur Mei. Seperti tahun lalu. Dan tahun-tahun sebelumnya.
Dompu adalah kisah sukses kebangkitan petani jagung Indonesia. Melebihi Gorontalo yang legendaris itu. Semangat menanam jagung mewabah cepat bak virus Omicron.

Sebenarnya panen jagung itu bisa diatur. Sedikit. Jagung beda dengan padi. Buah jagung bisa dibiarkan sementara di pohonnya. Bisa bertahan sampai satu bulan. Asal kelobotnya tidak dikupas.

Tapi petani ingin cepat dapat uang. Sebagian juga ingin cepat menanam lagi. Ketika harga mulai turun petani panik. Takut lebih turun lagi. Dipanen saja.

Sebenarnya, masuk akalkah ide gubernur Zulkifliemansyah itu? Untuk mengekspor kelebihan jagung itu?
Dari segi harga, ide itu sangat masuk akal. Harga jagung impor, andai diperbolehkan, ada di angka Rp 6.000/kg. Berarti harga di luar negeri lebih tinggi dari Rp 4.100/kg.

Pun Sang Gubernur sudah punya pembeli di luar negeri: Filipina. Tinggal menunggu izin dari Kementerian Pertanian –yang ternyata ditolak itu.
Salah satu tugas Kementerian Pertanian memang menolak dan mengizinkan. Bukan mencarikan gudang.

Sebenarnya petani kita itu hebat sekali. Dengan gambaran itu maka sebenarnya petani jagung itu sokoguru stabilitas nasional. Sedang eksporter minyak goreng adalah sokoguru devisa - -dan sokoguru terbentuknya barisan konglomerat di Indonesia. Petani jagung, dengan demikian, adalah pahlawan stabilitas jagung nasional. Memang, sebagian orang bisa bangga dengan gelar itu. Sebagian lagi, di sektor lain, hanya bangga kalau bisa memperoleh banyak laba.

Jagung Dompu itu hampir 100 persen dikirim ke Jawa. Maka gudang jagungnya sebenarnya bisa di mana saja: di Sumbawa maupun di Jawa.

Apalagi jagung Dompu itu tergolong mudah ditangani. Tingkat kekeringannya bagus. Udara tidak lembap. Dijemur tiga hari sudah bisa mencapai moistur 15 persen.

Tahun ini Indonesia nyaris swasembada jagung. Produksi nasional sudah di atas konsumsi 14 juta ton/tahun. Persoalannya tinggal mengatur stock musiman –dan itu bukan hanya ''tinggal''. Itu pekerjaan besar. Yang sebenarnya sudah lebih ringan dengan majunya teknologi informasi.

Ibarat lomba, swasembada jagung sudah di dekat garis finish. Tinggal menjaga hati petani: agar harga panennya bisa dipercaya.

Kalau saja harga jagung bisa dipertahankan minimal Rp 4.500/kg petani akan mencapai finish tahun depan. Dulu HPP menanam jagung memang masih sekitar Rp 3.300. Tapi harga pupuk naik terus. Harga Pokok Produksi itu kini sudah sekitar Rp 3.600.

Saya bukan petani jagung. Bukan pula ahli jagung. Bisa jadi hitungan itu tidak persis seperti seorang profesor menghitungnya.

Jagung telah mengubah Dompu. Lalu menjalar ke barat. Ke timur. Ke utara. Hanya ke selatan yang tidak bisa: ditolak Nyai Roro Kidul di lautan Hindia.

Zaman dulu Sumbawa dikenal sebagai produsen kacang hijau. Juga kedelai. Kini, saya lihat, tidak ada lagi yang mau menanam kacang hijau. Semua pindah ke jagung.

"Zaman dulu kami memiliki kebiasaan sarapan bubur kacang hijau di Sumbawa. Kebiasaan itu sudah lama hilang," ujar seorang tokoh Sumbawa yang pindah Surabaya.

Ups... Itu tidak sepenuhnya benar. Masih banyak yang menanam kacang hijau di sana. Khususnya setelah panen raya jagung ini. Tapi wabah jagung memang mengubah Dompu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: disway.id

Berita Terkait