JPU dari Kejati Jabar Banjir Apresiasi Setelah Menuntut Mati dan Kebiri Pemerkosa 13 Santriwati di Bandung

JPU dari Kejati Jabar Banjir Apresiasi Setelah Menuntut Mati dan Kebiri Pemerkosa 13 Santriwati di Bandung

Radartasik.com, BANDUNG — Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa pemerkosaan 13 santriwati di Bandung Herry Wirawan mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak.


Jaksa Penuntut Umum menuntut Herry Wirawan dihukum mati, dikebiri hingga penyitaan aset, karena jaksa menganggap perbuatan Herry masuk kategori kejahatan luar biasa.

Tuntutan JPU, yang dibacakan langsung Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Asep N. Mulyana, Selasa (11/1/2021) itu mendapat respons positif dari berbagai pihak. Kuasa hukum korban, Yudi, berharap tuntutan itu dikabulkan oleh majelis hakim. 

”Ini kan baru tuntutan, ya nanti mudah-mudahan majelis hakim memutus sesuai dengan tuntutan. Tidak ada pengurangan atau tidak ada pertimbangan yang dapat mengurangi tuntutan,” ucap dia.

Bunda Forum Anak Daerah Provinsi Jawa Barat (FAD Jabar) Atalia Praratya juga mengapresiasi jajaran kepolisian dan kejaksaan. Menurut dia, itu menjadi contoh penanganan kasus yang baik dan memberikan efek jera jika tuntutan tersebut dikabulkan majelis hakim. Karena itu, semua pihak diimbau terus mengawal jalannya persidangan.

Penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan Herry Wirawanjuga diminta tak hanya berhenti pada penghukuman pelaku. Tapi juga memastikan hak-hak korban terpenuhi.

Hal tersebut disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi. Dia menekankan, yang harus dipikirkan adalah memastikan korban mendapatkan haknya. Baik itu hak restitusi maupun bantuan negara untuk pemulihan korban. 

”Karena dalam praktiknya, tidak semua putusan hakim mengabulkan restitusi,” ujarnya, Selasa (11/1/2021).

Perempuan yang akrab disapa Ami itu menjelaskan, restitusi berbeda dengan denda. Restitusi merupakan biaya yang diberikan pelaku kepada korban. Sementara itu, denda adalah uang yang dibayarkan kepada negara.

Komponen restitusi tersebut juga telah dijabarkan secara detail dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018. Biasanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan membantu menghitung restitusi yang harus ditanggung pelaku. 

Namun sayangnya, dalam banyak perkara, kalaupun hakim mengabulkan pembayaran restitusi, pelaku kerap beralasan tidak mampu membayar. Karena itu, Ami mendorong agar semua pihak bisa turut mengawal.

Belum lagi soal pemulihan korban. Selama ini, kata dia, pemulihan untuk korban anak dari negara dilakukan hanya sepanjang pemeriksaan sampai putusan pengadilan. 

Setelah itu, belum ada jaminan korban mendapatkan bantuan perawatan medis lanjutan, konseling psikologis, maupun psikososial. Padahal, mereka masih sangat membutuhkan seluruh layanan tersebut.

Ami menilai, seluruh persoalan itu bakal terselesaikan melalui pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Karena itu, dia berharap instruksi presiden pada awal tahun untuk mempercepat pengesahan RUU tersebut segera dilaksanakan.

Terkait tuntutan JPU, Ami berpandangan bahwa pidana mati tidak terbukti efektif mencegah terjadinya kekerasan seksual. Kendati begitu, pihaknya menghormati proses hukum yang tengah berjalan.

Terpisah, pemerhati pendidikan dan anak Retno Listyarti mengamini terkait restitusi untuk korban. Dia mendukung penuh tuntutan JPU pada terdakwa untuk memberikan restitusi kepada korban (korban langsung) dan bayinya (korban tidak langsung).

”Bahkan, menurut saya Rp 330 juta terlalu kecil, seharusnya di atas Rp 1 miliar. Kekayaan Herry disita dan jika kurang, negara harus hadir untuk restitusi bagi biaya hidup dan masa depan anak-anak korban,” ungkapnya.

Retno juga sepakat atas tuntutan untuk membekukan yayasan pendidikan yang menaungi Madani Boarding School. (jp)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: