Beritakan Kasus Korupsi, Wartawan Divonis 3 Bulan Penjara
Radartasik.com — Muhammad Asrul, seorang wartawan di Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel) divonis hukuman tiga bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Palopo pada Selasa (23/11). Vonis itu buntut dari profesi Muhammad Asrul sebagai wartawan yang memberitakan dugaan kasus korupsi.
Vonis dari majelis hakim PN Palopo ini mendapat sorotan keras dari LBH Pers. Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menyesalkan vonis bersalah terhadap Asrul. Dia menilai hukuman tersebut bisa menjadi preseden buruk terhadap kebebasan pers di Indonesia.
“Kami sangat menyesalkan putusan ini. Karena bagaimanapun keputusan ini akan menjadi preseden buruk kebebesan pers,” kata Ade dalam keterangannya, Selasa (23/11).
Ade menyebut pemerintah kini sedang melakukan upaya untuk merevisi UU ITE. Padahal, dalam praktik penegakan hukum berkaitan SKB menteri disebutkan bahwa karya jurnalistik tidak bisa dipidana. Tetapi justru vonis terhadap Asrul berbanding terbalik dengan aturan tersebut.
“Praktiknya pengadilan tetap memberikan putusan terhadap karya jurnalistik. Ini akan menguatkan dorongan untuk menghapuskan pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi pers khususnya pasal 27 ayat 3, dan 28 ayat 2 dan beberapa pasal lainnya di UU ITE,” cetus Ade.
Seharusnya, jika pemberitaan yang dipersoalkan bukan pada ranah pidana, tetapi pada sengketa pers. Hal ini dapat diselesaikan melalui Dewan Pers.
“Apa yang dikeluarkan terdakwa adalah karya jurnalistik. Seharusnya yang dilakukan sengketa pers. Tapi pengadilan terus mengadili dan ini sangat paradoks dalam mencari keadilan dari teman-teman jurnalis,” ungkap Ade.
Keputusan majelis hakim PN Palopo juga dikritisi SAFEnet. Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniato mengungkapkan, hukuman tiga bulan penjara terhadap Muhammad Asrul merupakan kriminalisasi terhadap kerja-kerja jurnalis. Kriminalisasi itu terlihat sejak dicantumkannya Pasal 28 ayat 2 tentang Ujaran Kebencian yang ancamannya di atas lima tahun.
“Dari sini saja sudah terlihat keliru dalam proses pemidanaannya. Kenapa saya katakan keliru? Karena kalau dikatakan ujar kebencian, maka pertama-tama harus dibuktikan dulu,” papar Damar.
Seharusnya, tegas Damar, dalam persidangan dapat dibuktikan terlebih dulu ada atau tidaknya unsur ujaran kebencian. Siapa pihak yang dirugikan dari ujaran kebencian tersebut. Menurut dia, ujaran kebencian harus berdasarkan diskriminasi ras, suku, agama dan antargolongan.
“Konstruksi apa yang menyangkut soal SARA itu, kalau ternyata mengangkat soal dugaan korupsi maka tidak bisa dinyatakan bahwa ada golongan tertentu yang dirugikan. Apakah golongan koruptor yang dirugikan. Ini sebuah penanda bahwa konstruksi kasus ini adalah kriminalisasi,” pungkas Damar. (jpg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: