Microhyla Sriwijaya, Katak Mulut Sempit dari Belitung
Reporter:
ocean|
Sabtu 25-09-2021,01:15 WIB
Radartasik.com, BOGOR — Peneliti Badan Riset dan Inovasi (Brin) dari Pusat Penelitian Biologi berhasil menambah data keanekaragaman hayati (kehati) baru-baru ini. Mereka menemukan spesies baru microhyla sriwijaya, katak kecil bermulut sempit dari Pulau Belitung dan Lampung.
Peneliti Herpetologi Pusat Penelitian Biologi yang juga salah satu penulis dari publikasi ini Amir Hamidy menjelaskan nama sriwijaya dipilih untuk diabadikan sebagai nama jenis, mengacu pada nama kerajaan pemersatu pertama yang mendominasi sebagian besar Kepulauan Melayu.
”Ini berbasis di Sumatera dan mempengaruhi Asia Tenggara antara abad ke-7 dan ke-11,” ungkap Amir seperti disampaikan Humas Brin pada lama LIPI.
Bersama beberapa penulis lainnya, yaitu Rury Eprilurahmani, Sonali Garg, Vestidhia Y Atmaja, Farits Alhadi, Misbahul Munir, Rosichon Ubaidillah, Tuty Arisuryanti, SD Biju, dan Ericn Smith, Amir menuturkan ciri khas dari spesies baru ini.
Menurut dia, katak jantan dewasa ukurannya kecil dengan panjang moncong hanya berkisar 12,3 hingga 15,8 mm. Penemuan spesies baru dari genus microhyla ini telah dipublikasikan pada jurnal Zootaxa pada tanggal 2 September 2021.
”Katak ini masih merupakan anggota dari M achatina dan saudara dari M orientalis. Namun berdasarkan analisis morfologis, molekuler, dan akustik terdapat perbedaan dan kami mengidentifikasikan katak ini sebagai spesies baru,” tuturnya.
Spesimen katak ditemukan pada tahun 2018 dan 2019 di perkebunan kelapa sawit Pulau Belitung dan Lampung di Sumatera bagian tenggara oleh tim herpetologi. Dilihat dari kombinasi karakternya katak jantan lebih kecil dengan ukuran panjang tubuh kurang dari 16 mm.
”Moncongnya tumpul dan bulat, memiliki tanda punggung berwarna cokelat kemerahan atau oranye dengan tuberkel kulit yang menonjol,” imbuh Amir.
Salah satu penemu jenis baru ini, Rury Eprilurahman dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada menambahkan saat ini Indonesia memiliki sembilan spesies microhyla yaitu M achatina (Jawa), M berdmorei (Kalimantan dan Sumatera), M mukhlesuri (Sumatra), M gadjahmadai (Sumatra), M heymonsi (Sumatera), M malang (Kalimantan), M orientalis (Jawa, Bali, Sulawesi, dan Timor), M palmipes (Bali, Jawa, dan Sumatera), dan M superciliaris (Sumatera).
Dari jumlah tersebut, empat spesies (M achatina, M gadjahmadai, M orientalis, dan M palmipes) merupakan jenis endemis Indonesia.
Rury juga menjelaskan Pulau Sumatera menempati posisi kedua wilayah terluas untuk keanekaragaman spesies microhyla. Hal ini diwakili tujuh dari sembilan spesies Indonesia (M achatina, M berdmorei, M gadjahmadai, M heymonsi, M fissipes, M palmipes, dan M superciliaris).
Terkait status konservasi amfibi di Pulau Belitung, Amir menjelaskan habitat amfibi di pulau ini sudah terancam kegiatan antropogenik yang mengakibatkan kerusakan habitat beberapa jenis amfibi.
Menurut dia, penemuan microhyla sriwijaya menegaskan perlunya melestarikan habitat alami pulau yang berharga.
Selain itu perlu dilakukan survei dan studi herpetologi secara ekstensif di wilayah yang lebih kecil dan kurang tereksplore potensi kehatinya seperti Belitung.
”Spesies amfibi pertama yang endemis di pulau ini, ichthyophis billitonensis telah dideskripsikan lebih dari 50 tahun yang lalu (Taylor, 1965). Selanjutnya penemuan jenis katak baru dari Pulau Belitung pada tahun 2012, yakni leptobrachium ingeri (Hamidy et al, 2012),” kata dia.
”Terlepas dari penemuan-penemuan ini, tidak ada survei amfibi khusus disertai dengan literatur yang diterbitkan berasal dari pulau ini,” pungkas Amir. (sa/Brin/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: