Sunat Dana Hibah di Kabupaten Tasik Sudah Jadi Kebiasaan
Reporter:
syindi|
Rabu 25-08-2021,10:30 WIB
radartasik.com, SINGAPARNA — Pemerhati Kebijakan Anggaran, Nandang Suherman menilai pemotongan Hibah Pemkab Tasikmalaya Tahun Anggaran 2018 ini merupakan perilaku korup yang sudah berurat, berakar dan membudaya dan biasa terjadi berulang setiap tahun.
Apalagi, kata dia, sejauh ini tidak ada penegakan hukum yang luar biasa sampai bisa membongkar ke akarnya dan membuat efek jera. “Memang tidak ada penegakan hukum, kalaupun ada masih sangat minimalis tidak membuat efek jera. Sehingga orang untung-untungan masih tetap berlangsung,” ungkap dia.
Menurut dia, fenomena kasus pemotongan hibah ini kalau melihat kepada komprominya pada saat pengusulan juga sudah ada manipulasi dari awalnya. “Bahwa pengusulannya sudah diskemakan oleh orang yang cukup paham terhadap mekanisme penyalurannya,” ujar dia.
“Biasanya melibatkan elite baik di birokrat atau politisi. Kemudian kebiasaan masyarakat ini kan “menerima” begitu saja, karena menganggap hibah ini adalah “pemberian” kebaikan atau belas kasihan dari pemegang otoritas,” paparnya.
Sehingga, lanjut dia, masyarakat dalam kesadarannya sendiri sangat rendah memandang bahwa APBD adalah sumber daya publik milik eksekutif dan legislatif, padahal milik bersama karena berasal dari pajak rakyat.
Lanjut dia, dari sisi penganggarannya sendiri memang cukup tertutup, sehingga peluang terjadinya kongkalikong itu cukup tinggi. Sebenarnya bukan hanya dalam hibah dan bansos saja kalau mau ditelaah mendalam. Bahkan yang disebut kompromi itu bisa terjadi di dalam pelaksanaan proyek, karena temuannya hampir setiap tahun ada dalam hibah ini karena tertutup.
“Kalau tertutup ya potensi untuk korupsinya sangat terbuka. Karena korupsi ini harus dilawan dengan transparansi, dibuka ke publik agar banyak yang mengawasi,” tambah dia.
Ketua FTUB, Ustaz Cece Zayn Nasrulloh mengatakan, persoalan pemotongan hibah ke yayasan dan pondok pesantren ini sudah terjadi bertahun-tahun. Bahkan seolah sudah menjadi budaya untuk mencari keuntungan pribadi.
“Saya berdiskusi dengan beberapa ajengan, pengelola pesantren dan yayasan, ternyata persoalan ini sudah sejak lama dan membudaya. Karena bicara potongan seperti ini seolah sudah menjadi hal biasa. Maka harus diputus supaya tidak terjadi lagi,” kata dia.
(dik)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: