Awal Munculnya Pemotongan Dana Hibah, Begini Kata Mantan Bupati Tasik..
Reporter:
agustiana|
Senin 02-08-2021,10:53 WIB
radartasik.com - Mantan Bupati Tasikmalaya Dr H
Tatang Farhanul Hakim (TFH) meminta agar penerima bantuan Hibah Pemkab
Tasikmalaya Tahun Anggaran 2018 tidak menjadi tersangkut hukum.
Pasalnya, mereka (para penerima hibah, red) sebenarnnya menjadi
korban atas pemotongan bantuan hibah itu.
"Nah, yang saya anggap pelanggaran dari awal itu,
termasuk hibah tahun 2018. Kemudian sejak Bupati Uu menjabat 2011, itu kasus
pemotongan hibah sudah mulai muncul," ungkap Tatang kepada Radar, Minggu
(01/08/21).
Bahkan, Tatang sendiri sempat bertemu dan berbicara dengan
Bupati Tasikmalaya Uu Ruzhanul Ulum, Dinas Keuangan termasuk Inspektorat pada
saat itu.
"Saya kaget, ketika ada beberapa ulama yang menelepon
saya, menyampaikan bantuan keuangan itu dipotong," paparnya.
Apalagi, ungkap dia, pemotongannya tidak sedikit, bahkan
sampai 90 persen. Padahal, pada era kepeimimpinannya tidak ada yang namanya
praktik pemotongan bantuan keuangan hibah atau bansos secara pribadi maupun
sistem.
“Artinya semua perangkat daerah yang terlibat dalam proses
bantuan, itu tidak ada istilah potongan. Tetapi kenapa ketika kepala daerah
sesudah saya, banyak muncul pemotongan bantuan keuangan, sampai sekarang,”
katanya.
Tatang sangat menyayangkan, pemotongan bantuan keuangan
hibah ini terus terjadi dan terulang.
Pada intinya, fenomena ini muncul akibat kebijakan
pemerintah daerah yang belum benar dan sistemnya harus diperbaiki.
“Jadi judulnya bantuan hibah, tetapi di dalamnya malah
merampas hak uang rakyat dan negara. Seharusnya penerima mendapatkan Rp100
juta, malah dapat Rp20 juta, kan keterlaluan,” jelasnya.
Maka dari itu, ungkap dia, agar tidak terulang atau terjadi
kembali kasus seperti pemotongan ini, pemegang kebijakan atau bupati dalam hal
ini harus bertanggung jawab membenahi sistem dan teknis dalam penyaluran
bantuan keuangan ini.
“Seharusnya bantuan keuangan hibah atau bansos ini semuanya
harus 100 persen diterima oleh penerima. Itu sudah menjadi haknya lembaga atau
yayasan yang menerimanya,” dorong dia.
Pada umumnya, lanjut dia, yang menerima bantuan keuangan
hibah ini kan lembaga atau yayasan.
Sementara aturan administrasi dibentuk, harus ada SK
Kemenhumkam, tetapi realisasi di lapangan malah seperti ini terjadi pemotongan.
“Saya mendukung, kasus dugaan pemotongan Hibah Pemkab
Tasikmalaya 2018 ini masuk ke ranah hukum dan diusut. Kalau bisa semua, bukan
hanya 2018, dari 2011 sampai saat ini,” terang dia.
“Kalau diakumulasikan jumlahnya mungkin bisa mencapai
triliun sekian tahun dari APBD. Artinya penerima hanya menjadi korban, yang
untung adalah perorangan atau oknum. Apakah itu bentuknya tim atau pribadi.
Jadi ini sudah terikat sistem, kalau semua peduli bahwa ini salah maka bisa
semua kena. Baik itu eksekutif atau legislatif,” ujar dia, menjelaskan.
“Saya sudah beberapa kali memberikan peringatan kepada
bupati dan kepala dinas, jangan sekali-kali merampas uang negara dengan dalih
bantuan keuangan,” tambah dia.
Selanjutnya, dorong dia, kepada penegak hukum harus ada
keberanian untuk mengusut tuntas. Karena fenomena pemotongan hibah ini akan
menjadi penyakit kronis kalau belum ada efek jera bagi para pelakunya.
“Jadi harus disisir, dari mulai kebijakan bupati sampai
keluar SK dan realisasi. Kasihan lah para penerima atau masyarakat. Jadi harus
satu pintu perbaikan sistem penyalurannya, ada bantuan sosial dari Dinas
Sosial, bantuan lembaga ada kesejahteraan masyarakat, jadi tidak harus lagi ada
biaya lain atau pemotongan,” katanya.
Jadi sekali lagi, tegas dia, jangan sampai yang dikorbankan
itu adalah penerima. Intinya kalau yang menerima bantuan berapa pun pasti akan
diterima. Akan tetapi dari mulai kebijakan sampai proses eksekusi ada mainan
yang tidak sehat.
“Saya tidak mendukung, kalau penerima itu dihukum. Karena
meraka hanya berpikir berapa pun bantuannya pasti diterima dan penerima menjadi
korban sistem. Dan oknum yang memotongnya harus diusut tuntas diproses hukum,”
tambah dia.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten
Tasikmalaya Dedi Mulyadi mengatakan, untuk dorongan dalam kasus Hibah Pemkab
Tasikmalaya 2018, penegak hukum bisa mengusut tuntas kasus dugaan pemotongan
tersebut sampai kepada dalangnya.
"Hibah ini memang sangat membantu masyarakat atau
lembaga yayasan, tetapi kan harus jelas peruntukannya dan tepat sasaran juga
kalau bisa tidak ada pemotongan. Sekarang ada pemotongan sampai setengahnya
lebih, itu keterlaluan kasihan penerima,” ujarnya kepada Radar, Minggu
(01/08/21).
Dedi menganggap bahwa penerima bantuan semacam hibah ini
kebanyakan lembaga atau yayasan pendidikan keagamaan.
Jadi pada umumnya ada yang mengerti atau awam, tidak tahu,
dibujuk dan dirayu akan mendapatkan bantuan.
Maka harus ada kebijakan atau pertimbangan hukum agar
penerima tidak menjadi korban dan tersangkut hukum.
“Kalau yang melakukan pemotongankan kebanyakan orang-orang
yang mengerti dan mempunyai jabatan serta akses dalam pengalokasian anggaran
tersebut. Jadi buat apa minta potongan, apalagi yang bukan haknya. Maka sangat
mendorong kejaksaan mengusut kasus ini, apalagi hibah ini uang negara,”
paparnya.
Dia menambahkan, nasib penerima ini sebenarnya di satu sisi
membutuhkan bantuan untuk sarana prasarana, di sisi lain menjadi korban
pemotongan. Apalagi pemotongannya tidak wajar, bisa sampai 70-80 persen.
"Ketika mau digunakan uang bantuan hasil dipotong, mau
seperti apa jadinya untuk dibangun juga mungkin tidak akan cukup ke mana-mana.
Jadi kalau sekarang ditangani kejaksaan dan menjadi temuan BPK, tinggal proses
saja dan hukum oknum atau dalang yang melakukan pemotongannya, kalau penerima
hanya korban," paparnya. (dik)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: