Minim Perlindungan, Disabilitas di Tasikmalaya Tuntut Akses Setara Lewat Perda

Minim Perlindungan, Disabilitas di Tasikmalaya Tuntut Akses Setara Lewat Perda

Perwakilan komunitas difabel saat berinteraksi dalam forum dialog kebijakan inklusif di Aula Bappelitbangda, Selasa 30 September 2025. ayu sabrina / radartasik.com--

TASIKMALAYA, RADARTASIK.COM – Penyandang disabilitas di Kota TASIKMALAYA menilai Peraturan Wali Kota (Perwalkot) Nomor 52 Tahun 2021 tentang Perlindungan, Pemenuhan, dan Penyetaraan Hak-Hak disabilitas masih lemah dan belum menjawab kebutuhan mereka. 

Aturan yang sudah berlaku empat tahun ini dinilai tidak memiliki sanksi, tidak detail, dan belum memberikan perlindungan yang menyeluruh.

Hal tersebut mengemuka dalam dialog publik bertajuk Kebijakan Inklusif untuk Masa Depan yang Setara yang digelar REDEF Foundation bersama British Council melalui program BRIDGE di Aula Bappelitbangda Kota Tasikmalaya, Selasa 30 September 2025.

Menurut peserta dialog, kelemahan regulasi antara lain tidak adanya sanksi bagi praktik diskriminasi di sekolah, dunia kerja, maupun layanan publik. 

BACA JUGA:Jumlah Siswa SMKN 1 Cipatujah Tasikmalaya Diduga Keracunan MBG Bertambah, Kini 33 Pelajar Dirawat

Hak politik penyandang disabilitas tidak diatur, perlindungan khusus bagi perempuan dan anak disabilitas pun absen. 

Standar akomodasi layak seperti trotoar, transportasi ramah difabel, huruf braille, dan bahasa isyarat juga tidak diperinci.

Santi N. Susanti, Project Coordinator BRIDGE REDEF, menilai Perwalkot terlalu umum sehingga sulit diimplementasikan.

“Kalau diperkuat menjadi Perda, ada reward dan punishment, termasuk alokasi anggaran yang jelas. Selama ini Perwalkot Nomor 52 Tahun 2021 belum pernah dibedah serius. Baru sekarang kita coba dorong penguatan,” ujarnya.

BACA JUGA:Cara Umrah Naik Kapal Pesiar? Berikut Biaya Aroya Cruise

Kepala SLB Yayasan Bahagia, Hj. Lia Anjasmara, menekankan pendidikan masih menjadi masalah besar. 

Jumlah SLB negeri minim, sementara sekolah umum yang menerima anak disabilitas pun sering terkendala tenaga pendidik, kurikulum adaptif, dan alat bantu.

Suara penyandang disabilitas juga mengemuka. 

Raju, perwakilan Komunitas Metamorfosa, mengaku mahasiswa tuli di Unsil kesulitan belajar karena tidak ada penerjemah bahasa isyarat. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait