Refleksi PSU Pilkada Tasikmalaya: Evaluasi Penyelenggara dan Peserta dalam Menjaga Marwah Demokrasi
Dykasakti Azhar Nytotama, Duta Literasi Kota Tasikmalaya.--
PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) seharusnya tidak hanya dilihat sebagai ajang suksesi kepemimpinan semata.
Lebih dari itu, Pilkada memiliki peran strategis sebagai ruang pendidikan politik bagi masyarakat.
Di sinilah masyarakat belajar memahami hak politiknya, membangun budaya politik yang partisipatif, sekaligus menumbuhkan kesadaran hukum dan konstitusional.
Secara normatif, Pasal 22E UUD 1945 memang mengatur tentang penyelenggaraan Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
BACA JUGA:Cari Ikan di Tengah Banjir, Lansia Kabupaten Tasikmalaya Tewas Tenggelam
Meskipun aturan tersebut secara spesifik menyasar pemilu legislatif dan eksekutif nasional, prinsip-prinsip dasarnya tetap berlaku dalam penyelenggaraan Pilkada di daerah.
Hal ini juga ditegaskan dalam UU No. 10 Tahun 2016 yang memuat tanggung jawab KPU dalam melakukan sosialisasi, pendidikan pemilih, dan peningkatan partisipasi publik.
Bahkan Pasal 78 mengharuskan keterlibatan berbagai pihak, mulai dari lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, media, hingga organisasi kemasyarakatan dalam proses pendidikan pemilih.
Namun dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kabupaten Tasikmalaya, sejumlah persoalan muncul yang perlu mendapat perhatian serius, baik dari sisi penyelenggara maupun peserta.
BACA JUGA:GP Ansor Desak Audit dan Tindakan Tegas Tambang Ilegal di Kabupaten Tasikmalaya
1. Kinerja Penyelenggara Perlu Dibenahi
KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pilkada dinilai masih lemah dalam pengelolaan regulasi dan kelembagaan.
Misalnya, keputusan KPU meloloskan paslon nomor urut 03 yang dinilai telah melampaui batas ketentuan jabatan, menimbulkan pertanyaan besar.
Meskipun Bawaslu tidak bisa secara langsung membatalkan pencalonan, seharusnya tetap berperan aktif dalam pengawasan proses.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: