“Sekarang sudah tutup. Paling nanti di anggaran perubahan 2026. Kita cari alternatif kalau ada yang lebih cepat,” kata Nanan.
Selama itu, Iin masih harus menumpang karena rumahnya tidak mungkin dihuni.
Nanan menjelaskan bahwa rutilahu selalu melibatkan swadaya masyarakat, baik tenaga maupun material.
“Swadaya itu relatif. Tidak selalu uang. Ada yang bantu tenaga, genting, atau cat,” ujarnya.
BACA JUGA:Kades di Tasikmalaya Desak Pemerintah Hadir untuk Pendidikan ABK, Validasi ATS Masuk Tahap Krusial
Namun tanpa pengajuan yang masuk, skema swadaya pun tidak bisa berjalan karena bantuan pemerintah tidak dapat digulirkan.
Kasus ini menjadi contoh bagaimana keterlambatan input data dan lemahnya pendampingan kelurahan dapat membuat warga dengan kondisi sangat kritis justru tidak tersentuh bantuan.
Akibatnya, Iin harus menerima kenyataan pahit: menunggu hingga 2026 untuk sekadar memperbaiki rumah yang hampir roboh—jika anggarannya disetujui.