Sementara itu, Mak Iyah tetap duduk di bangku kecil di pojok ruang kerjanya.
Di hadapannya, selembar kain putih terbentang, payung yang belum selesai.
Ia menatapnya lama sebelum kembali menggerakkan kuas. Mungkin ini payung terakhir yang ia buat, mungkin juga bukan.
BACA JUGA:Dari Peristiwa 1952 hingga Hari Pemberantasan Kemiskinan Dunia
Yang pasti, setiap sapuan kuasnya adalah doa agar payung geulis dan semangat Tasikmalaya yang terkandung di dalamnya tak ikut memudar bersama senja di matanya.