TASIKMALAYA, RADARTASIK.COM - Dikri Rizki Ramadhan, aktivis mahasiswa Tasikmalaya, mengkritik kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya yang dinilai oportunis terkait penanganan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Kojengkang dan kawasan kuliner Dadaha.
Pemerintah kota berencana melarang PKL berjualan di trotoar, namun di sisi lain mereka tetap diminta membayar biaya keamanan dan kebersihan.
"Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak konsisten. Di satu sisi PKL dilarang hingga terancam digusur, namun di sisi lain mereka tetap 'dipalak'," ujarnya kepada Radar Tasikmalaya kemarin Selasa, 23 Juli 2024.
Dikri menduga koordinasi antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti Dinas Perhubungan, Dinas Lingkungan Hidup, dan Satpol PP tidak berjalan dengan baik.
BACA JUGA:KH Aminudin Bustomi Diantara Kandidat Bacawalkot Tasikmalaya untuk Pilkada 2024
"Mereka membayar untuk bisa berjualan di Pasar Kojengkang Dadaha, tapi anehnya Pemkot juga melarang mereka berjualan di trotoar," jelasnya.
"Jika dilarang, harus ada koordinasi antar dinas agar satu suara. Jangan sampai ada yang melarang sementara yang lain mengambil keuntungan," sambungnya.
Ia menambahkan, "Keputusan dan komunikasi Pemerintah Kota Tasikmalaya kacau. Bagaimana ekonomi bisa diperbaiki jika keputusan mereka justru menyusahkan para pejuang rupiah?"
Dikri menekankan bahwa pemerintah harus tegas dalam menertibkan PKL, namun juga harus memberikan solusi yang manusiawi dan adil. PKL yang terkena dampak hanya mereka yang berjualan di jalur utama Alun-Alun Dadaha.
"Trotoar memang untuk pejalan kaki, tetapi pemerintah harus bijaksana dalam menertibkan PKL. Jika ingin mengembalikan fungsi trotoar, harus ada solusi lain. Misalnya, menggabungkan PKL dengan pasar Kojengkang di area GGM atau GCC agar mereka bisa berjualan dengan tenang," tegasnya.
Mantan Ketua Umum HMI Komisariat STIA YPPT Priatim Tasikmalaya itu mendesak pemerintah kota juga agar tegas dan terukur dalam menerapkan kebijakan, terutama yang berdampak langsung pada masyarakat umum seperti PKL di Dadaha.