Sejumlah aturan yang bermasalah tetap disahkan meskipun mendapat penolakan publik. Fenomena ini dikenal sebagai otokratisme legislasi yang berhubungan dengan kartelisasi dalam politik perundang-undangan.
Peradilan justru memperkuat kepentingan kekuasaan, seperti yang diungkap oleh Ginsburg dan Moustafa (2008) dalam konsep 'judicialisation of authoritarian politics'.
4. Politik Manipulasi dan Pembohongan
- Politik dominan yang mengendalikan media digital cenderung memanipulasi dan membohongi publik.
BACA JUGA:Grup B Piala Presiden 2024: Bali United vs Arema FC, dan Madura United vs Persija Kick Off Hari Ini
Ini sering mengalihkan perhatian dari kekacauan dalam pengelolaan negara, menyalahkan pihak lain, dan menormalisasi kesewenang-wenangan.
5. Korupsi dan Penjarahan Sumber Daya Alam
- Korupsi dan penjarahan sumber daya alam terus terjadi tanpa perubahan. Politik perizinan administrasi yang liberal memudahkan eksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis.
Deforestasi akibat ekspansi tambang batubara dan sawit mengorbankan masyarakat, terutama komunitas hukum adat.
Upaya pencegahan korupsi dan eksploitasi sumber daya alam justru menghadapi risiko tinggi, seperti yang dialami Novel Baswedan dan puluhan pegawai KPK.
Kelima tantangan ini terkait dengan sistem politik Indonesia yang menguntungkan representasi formal ketatanegaraan, membentuk kultur dan struktur kuasa yang disebut 'embedded oligarch politics'.
Kartelisasi dalam sistem politik, termasuk dalam sistem Pemilu, terus berulang dan menguat.
Kritik Terhadap Hegemoni Rezim
BACA JUGA:Panduan Agar Nyaman Mengunjungi GIIAS 2024 Tangerang, Salah Satunya Pilih Lokasi Parkir
Dalam konteks ini, hukum menjadi alat hegemoni rezim sehingga kritik terhadapnya berhadapan dengan tekanan politik dan kekerasan.