BACA JUGA:17 Keunggulan Motor Listrik Uwinfly, Biaya Charge Rp2.000 Bisa Tempuh 60 KM, Bisa Menerobos Banjir
Menurut Ustadz Adi Hidayat ada langgam dan ada qiroat yang keduanya sama-sama ada tuntutannya.
Qiroat menurut UAH, begitu sapaan akrab ulama muda ini, adalah cara baca Al Qur’an berdasarkan dialek Arab yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw.
“Al Qur’an diturunkan dengan 7 cara baca yang dihimpun di zaman Nabi. Karena itu kita kenal sekarang qiroah sab’ah, tujuh cara baca Al Qur’an,” tuturnya.
Seperti ada riwayat hafs, wars, dan lima lainnya yang dipengaruhi dialek asal daerah para sahabat Nabi saat itu.
Jadi cara baca Al Qur’an sudah ada rumusnya dari para ulama, ilmunya qiraat sudah ada buku dan nadomnya.
Kalau di Indonesia yang umum membaca Al Qur’an dengan riwayat hafs.
Secara keseluruhan kata UAH, ada 14 cara baca Al Qur’an yang terbagi tiga.
Pertama ada 7 cara baca Al Qur’an dan disepakati boleh digunakan dalam bacaan sholat.
Kedua ada 3 cara baca Al Qur’an saja tidak boleh digunakan dalam bacaan sholat.
Ketiga ada 4 qiraah tafsir.
Dalam membaca Al Qur’an yang 7 riwayat, kata UAH, terikat dengan aturan yakni harus dibaca dengan tartil sesuai ilmu tadjwid dan makhrojul huruf.
Kalau tadjwidnya benar dalam membaca Al Qur’an tuturnya, akan muncul walau irama berbeda walau dialek bahasa.
Nantinya, lanjut UAH, akan menunjukkan ciri khas pembacanya asalkan tadjwidnya benar.
“Dari sejak zaman Rasulullah hingga zaman kita, para ulama membuat aturan tidak diperkenankan membaca Al Qur’an itu dengan irama-irama yang sifatnya dikhususkan untuk hal di luar Qur’an,” tegas UAH.
Misalnya dulu zaman Nabi ada syair, romal, nadom, ada rumus-rumus nada nyanyian tapi tidak digunakan untuk membaca Al Qur’an.