Oleh: Dahlan Iskan
"APAKAH voting di DPR itu masih diperlukan?"
Itulah pertanyaan penuh khawatir dari Raja Malaysia. Yang ditanya adalah perdana menteri baru Anwar Ibrahim.
Mungkin sang raja masygul. Kalau dilakukan voting, jangan-jangan Anwar kalah. Lalu perpolitikan Malaysia kacau lagi. Pemilu lagi. Ganti perdana menteri lagi: yang keempat kali. Dalam tiga tahun.
"Ampun Tuanku," ujar Anwar mengawali jawabnya. Di Malaysia setiap hendak bicara dengan raja harus didahului dengan kata ''Ampun Tuanku''. Biar pun ia seorang perdana menteri.
Di Indonesia juga kian marak ucapan awal mirip itu. Misalnya: ''mohon izin'' atau ''mohon petunjuk''. Terutama di kalangan birokrasi.
Anwar pun meneruskan kalimatnya: "Kalau kami bisa mendapatkan dukungan mayoritas di DPR pemerintahan akan lebih kuat".
Sejak dilantik Anwar sudah membuat pernyataan: akan mengagendakan persetujuan dari DPR itu tanggal 19 Desember 2022. Minggu depan. Di situ akan ada voting. Berapa dari 222 anggota DPR yang mendukung Anwar. Kalau kurang dari separo berarti Anwar harus meletakkan jabatan.
Ketika menghadap raja pekan lalu itu Anwar juga ditanya bagaimana kalau kalah. Bukankah sebenarnya Anwar sudah legitimate sebagai perdana menteri ke-10. Secara hukum itu sudah sah. Sudah kuat. Kan yang mengangkatnya adalah raja –setelah tidak ada jalan politik lainnya. Juga sudah disetujui seluruh sultan se-Malaysia.
Sebelum mengangkat itu pun raja sudah berbuat sangat fair. Sebagai pemenang Pemilu – meski belum mayoritas– Raja sudah memberi kesempatan kepada Anwar untuk membentuk pemerintahan. Tentu Pakatan Harapan harus berkoalisi dengan partai lain. Agar mendapat suara DPR setidaknya 112 kursi. Ternyata Anwar gagal.
Raja lantas memberi kesempatan kepada pemenang Pemilu kedua: Perikatan Nasional. Yang dipimpin mantan Perdana Menteri Muhyidin Yasin. Muhyidin juga gagal.
Tahap berikutnya Raja memberi kesempatan semua partai. Agar membentuk pemerintahan. Diberi batas waktu sampai pukul 14.00 keesokan harinya.
Tidak ada yang berhasil. Deadline pun diundurkan 24 jam. Masih gagal.
Akhirnya Raja berunding dengan seluruh sultan se-Malaysia. Anwar pun diangkat jadi perdana menteri. Raja turun tangan. Partai UMNO dan GPS diminta gabung ke Anwar, membentuk pemerintahan persatuan.
Jadilah Anwar perdana menteri. Rakyat lantas memanggil Anwar dengan nama PMX. Anwar memang menolak dipanggil ''Pak'' atau ''Bapak'' atau ''Abah'' atau ''Ayahanda''.