”Semua kasus ini terkait dengan Putri ya, kasino gelap, mobil bodong, dan bermuara ke pembunuhannya. Dia sepertinya terlalu banyak ambil peran, dan terlalu banyak tahu. Pada satu titik, ada yang berubah pikiran, atau ada yang tak terkendali, lalu banyak yang merasa terancam,” kataku.
Widi memberi kami fotokopi akta dan kontrak kerja sama itu. Saya dan Nurikmal memutuskan untuk bertemu dengan pengacara Restu Suryono. Ingin bertanya apakah dia pernah menangani kasus pekerja perempuan.
Sebelum kasus Putri meledak dan dia jadi pengacara Awang dan Runi, saya agak kerap menemui dia, untuk urusan Pesantren Alhidayah, di mana dia rutin memberi donasi. Demi netralitas, saya membatasi bahkan tak pernah bertemu dengannya, selama sidang kasus pembunuhan Putri berlangsung.
Restu mengingatkanku pada sosok Soeharto. Tenang, tindakannya terukur, tak pernah menampakkan emosi secara terbuka. Dia selalu tersenyum. Smiling lawyer, saya menggelarinya begitu. Smiling lawyer and politician, kata dia menambahkan. Seperti Soeharto di sangat Jawa. Tapi dia Jawa yang terbuka, membuka tangan dan yang merangkul banyak orang. Ia mendirikan dan membesarkan ormas berbasis pemuda: Garuda Muda Nusantara. Terkenal dengan nama yang gagah dan mudah sekali diingat: Garda Nusa.
Ormas ini merangkul pemuda lintas etnis dan golongan. Itu sebabnya, saya kira, kepemimpinannya di partai besar itu berhasil. Dalam beberapa pemilu partainya menang di Borgam. Partainya memainkan peran penting di perpolitikan di Borgam.
Bahwa posisinya sebagai pembela terdakwa Awang dan Runi dalam kasus pembunuhan Putri ini melambungkan namanya, itu tak terbantahkan, tapi kami menilai dia memang pengacara yang baik. Banyak kasus ia menangkan.
”Mau ketemu di mana, Mas Abdur? Di kantor saya atau di luar?” katanya. Saya memilih kantornya, tak terlalu jauh dari kantor LSM Woman Worker Care. Restu menyambut kami dengan hangat. Dengan penampilan yang selalu rapi dan necis. Kami menunggu sebentar di teras lantai 2 kantornya yang terbuka –biar bisa ngobrol santai sambil merokok, katanya –lalu datanglah ia dengan tiga berkas tebal. Langsung saya menduga itu berkas dakwaan dan BAP kasus pembunuhan Putri. Persis seperti yang saya terima dari Pak Rinto. ”Kalau baca dakwaan ini, sulit bagi Pintor untuk bebas dari hukuman. Terlalu jelas perannya, sangat kuat bukti-buktinya,” kata Restu.
”Mas Dur saya fotokopikan ya?” tanya Restu.
Saya iyakan saja. Pura-pura bahwa kami belum punya berkas itu. Kalau pengacara yang mendapatkannya saya kira itu wajar, dia memang bekerja untuk membela kliennya. Kalau Pak Rinto? Orang sipil biasa itu? Saya hanya bisa membayangkan ada jejaring pengaruh yang bisa digerakkan olehnya.
Restu menjelaskan sulit bagi kliennya untuk bebas, tapi dia akan perjuangkan hukuman yang seringan-ringannya. Makanya dalam sidang-sidang dua kliennya tak pernah berbelit-belit dan tak pernah ragu memberikan keterangan. Sangat kooperatif. Itu akan jadi hal yang meringankan. Tugasnya untuk meyakinkan majelis hakim bahwa otak dari kasus ini –adalah AKBP Pintor– dan dia harus jadi tersangka sudah tercapai.
Tentang Woman Worker Care kami dapat info tambahan yang menarik dari Restu. Ia pernah menangani kasus pekerja perempuan yang diadvokasi oleh LSM tersebut. ”Biayanya waktu itu dibantu Pak Rinto. Secara tidak langsunglah. Dibayar dari dana CSR perusahaan yang dia komisarisnya,” kata Restu.
Di luar percakapan soal kasus Putri dan LSM itu, pengacara Restu menawari saya untuk bergabung di tim suksesnya. Beberapa kali kami memuat berita pernyataannya siap maju di pilwako Borgam. Ia menyatakan diri siap berkompetisi sebagai calon walikota, tapi dia realistis saja. Secara politis lebih besar peluang menang apabila dia mengambil posisi wakil walikota untuk calon Alkhaidir, tokoh Melayu nonpartai, yang sangat populer itu.
”Mas Restu pasti saya bantu, tapi jangan masukkan secara resmi di tim sukses,” kata saya berbasa-basi. ”Kalau perlu Nurikmal atau nanti wartawan kami yang lain kami tugaskan khusus untuk menulis berita-berita terkait Mas Restu. Apalagi kalau Mas Restu pasang iklan,” kata saya, mengeluarkan sedikit jurus marketing dalam diri saya.
”Tenang, Mas Abdur. Kalau soal itu, saya mengertilah. Sudah ada bujetnya. Dari partai ada. Dari sumber lain juga ada. Nanti ketemu Pak Ameng, ya,” katanya. Saya ingat, Bang Ameng adalah pengurus partai lain yang sudah nyatakan berkoalisi dengan partainya Mas Restu di pilwako.
Dalam perjalanan kembali ke kantor, Nurikmal bertanya soal netralitas media kami di pilwako nanti, peristiwa politik besar yang prosesnya sudah berjalan. Pemanasan yang cepat panas, dan terlalu panas.
Yang saya dapatkan dari bos kami Indrayana Idris, terkait soal ini sangat jelas. Saya ingat apa yang ia katakan, ”kita beri kesempatan yang sama pada semua pihak yang berkompetisi. Itu inti netralitas.”