Kesempatan yang sama artinya tak boleh kita tolak kalau ada yang mau pasang iklan atau kirim rilis, atau bikin jumpa pers. Kita liput, kita muat. Kalau mereka tak kirim rilis, tak bikin kegiatan yang layak diberitakan, tak mau atau tak ada anggaran pasang iklan ya itu salah mereka. Kesempatan yang sama itu artinya kita kasih mereka tarif iklan yang sama dan diskon yang sama, kalau mereka minta diskon,” katanya.
”Kita boleh memihak, Bang?”
”Secara pribadi boleh. Kita di kantor masing-masing boleh punya kecenderungan politik yang berbeda-beda. Bebas saja. Sebagai institusi pers, kita pada dasarnya harus netral, ya netral seperti kata Pak Indrayana itu. Tapi, kalau pada saat tertentu kita tahu persis bahwa calon tertentu lebih baik bagi publik apabila ia yang menang, kita boleh berpihak. Diam-diam atau lebih baik secara terbuka nyatakan saja kita dukungan kita. Pada saat itu kita jadi aktivis, sesekali boleh saja, tapi setelah kompetisi selesai, kita kembali jadi jurnalis lagi. Orang yang kita dukung, kalau ia salah, lalai, lupa janji kampanye, kita kritik dia. Sekeras-kerasnya. Kenapa? Karena kita ikut membuat dia terpilih,” kataku.
”Apa tak ditinggalkan pembaca nanti kalau kita berpihak?”
”Makanya saya bilang, kalau kita yakin kemenangan satu calon baik untuk publik, kita dukung dia. Kita kembali ke publik. Publik itu yang kita bela, kita berpihak pada orang banyak,” kataku.
Selama perjalanan baliho-baliho besar di beberapa simpang strategis telah dipenuhi oleh tampang-tampang politisi. Beberapa didesain bagus, beberapa hanya menjadi sampah visual, polusi pemandangan. Bingung juga menentukan mana yang baik untuk publik. Ah, politik, terlalu banyak wilayah remang dan abu-abu. Retorika mentah para politisi itulah membuatnya begitu.
”Sudah cukup ya bahan untuk feature pekerja perempuan itu? Kalau bisa selesai ditulis hari ini, besok kita naikkan,” kataku. Nurikmal mengiyakan. Kami lalu bicara soal bagaimana memberitakan sidang yang digelar besok. Sidang pertama bagi AKBP Pintor, agendanya pembacaan dakwaan.
Herman, manajer pemasaran kami masuk kantor dengan ekspresi tegang. ”Kita diteror lagi, Bang Dur!” katanya. Ia tunjukkan foto-foto di ponselnya. Tumpukan koran puluhan koli di halaman percetakan. Seperti dilemparkan dengan buru-buru. Koran-koran kami yang beberapa waktu lalu hilang dari pasaran, diborong dari beberapa agen. Beberapa dicuri. Koran-koran itu dilumuri darah. Saya tiba-tiba teringat pesan Pak Rinto: ... turunkan sedikit tensi pemberitaanmu, kalau bisa, jangan menambah ketegangan. (*)