Oleh: Dahlan Iskan
INILAH tulisan yang saya buat dengan malu-malu. Terutama malu kepada Robert Lai. Peristiwa ini besar sekali. Di kalangan pencinta golf. Saya harus menuliskannya. Tapi saya tidak mengerti: apa itu golf.
Anda sudah tahu: Piala Champions, di sepakbola, mau disaingi oleh Super Club. Klub-klub besar sepakbola dunia mau bersatu. Bikin pertandingan sendiri. Di luar Piala Champions.
Demikian pula di golf. Dominasi PGA Tour akan tersaingi oleh Liga LIV. Serius sekali. Sama dengan Piala Champions. PGA Tour melawan: pegolf yang ikut Liga LIV akan dicoret dari PGA Tour.
Uang besar, tokoh besar, moment besar. Semua terlibat di dalamnya. Seru sekali. Saya sudah minta Robert Lai menulis soal itu. Untuk Disway. Tulisan Robert bagus. Punya sisi filosofinya. Pengantar buku saya, Ganti Hati, contohnya. Ia yang menulis kata pengantar itu.
Apa jawab Robert?
"Saya tidak sampai hati melihat perpecahan itu. Saya terlalu emosional," ujar teman Singapura kelahiran Hong Kong itu. "Ini semua karena uang," katanya. "Uang telah membuat sisi sportivitas olahraga diabaikan," tambahnya. "Uang. Uang. Uang," tegasnya.
Saya pernah berhasil mengajak Robert pergi ke mana saja. Berdua. Kadang dengan istri kami masing-masing. Tapi saya gagal memintanya menulis perpecahan ini —saking cintanya pada golf.
Mungkin itu pembalasan. Ia tidak pernah berhasil mengajak, merayu, dan mengintimidasi saya untuk main golf.
Ke mana pun pergi ia selalu membawa majalah golf. Edisi terbaru. Kadang tertinggal di kamar saya seperti sengaja ditinggal. Keesokan harinya ia seperti nge-tes saya. Ia ingin tahu apakah saya membuka majalah itu. Siapa tahu saya mulai tertarik salah satu artikelnya.
Ia kecewa. Pertanyaannya tidak ada yang bisa saya jawab.
Saya tahu: tidak ada gunanya saya membaca majalah itu. Ia pasti akan bercerita panjang mengenai isi bacaannya itu. Ia tidak peduli: saya tertarik atau tidak. Ia terus bercerita. Lama-lama, secara tidak sadar, saya hafal nama-nama pemain golf terkemuka. Saya juga hafal nama-nama lapangan golf hebat di dunia.
Beberapa cerita mengenai lokasi itu membuat saya penasaran. Saya sampai mampir ke lapangan golf Augusta di Georgia, Amerika Serikat. Saya juga datang ke lapangan golf St. Andrews, di utara Edinburgh, Skotlandia. Di situlah ia sekolah manajemen golf di masa mudanya.
Pak Ciputra, pemilik begitu banyak lapangan golf, juga gagal berdakwah golf di depan saya. Padahal beliau sampai kirim tas golf yang bulat-besar-panjang itu ke rumah saya. Isinya penuh dengan stik golf berbagai tipe. Untuk saya. Pasti mahal sekali.
Suatu saat Pak Ciputra bertanya: sudah main golf?