ispri yoto
Sudah lama beli kompor listrik induksi. Teknisnya sangat baik.Cepat matang jangan samakan dengan kompor listrik elemen ya. Tapi tantangannya kebiasaan ibu ibu masak harus dirubah! Semua bhn sudah di dekat kompor lalu masak karena panasnya cepat sekali. Kalau biasanya masak lalu kurang bumbu ditinggal beli di lijo sambil rasan rasan ya gosong. Trus peralatan masak listrik yg bentuknya kayak wajan cekung tidak ada
yea aina
Sebetulnya yang pantas disebut manja-banyak mengeluh, rakyat ataukah pembuat kebijakan? Kenaikan harga kebutuhan pokok berulang-ulang, termasuk BBM, elpiji dan listrik toh rakyat hanya ngrundel saja. Meskipun penghasilannya segitu-gitu juga (tidak ikutan naik). Beda kalau blio-blio para pembuat kebijakan. APBN minim pendapatan, kebijakannya: mengurangi pengeluaran. Caranya "pengalihan subsidi". Memang subsidi pos pengeluaran APBN, tapi penghematan bisa dilakukan pada pos non subsidi kan. Manja itu identik malas, malas berpikir, malas berhemat sekalian saja malas hidup kwkwkw.
Agus Suryono
KATA MBAH GOOGLE.. Saya penasaran, sebenarnya kompor listrik itu membutuhkan daya berapa watt. Ternyata, kata mbah Google.. 1). Kalau kompor listrik biasa, antara 800 - 1200 watt. Dan rata- ratanya ya sekitar 1.000 watt. 2). Kalau kompor Induksi, sekitar 100 - 650 watt. Lho kok "range" nya jauh. Ya memang iya, tergantung pemakai nyetel di panas berapa derajad. Kalau yang sekedar hangat, ya cukup sekitar 100 watt. @perlu uji coba pribadi.. daripada MENYESAL nanti..
Juve Zhang
Rakyat kecil masih pusing gas melon, listrik 450 Watt. Malah ada gubernur "cuci baju kotor' di kasino LN. total yg dikirim 560 Ember. Pak Mahfud MD langsung umum kan. Semoga jelas asal usul dan maksudnya.
Alon Masz Eh
Dan yang miskin listriknya 2200VA pakai kompor listrik, sementara yg 900VA sambil tunggu giliran, antri tabung gas di toko2, ga bakal ketauan. Ini seperti yang mampu beli motor untuk mengurangi subsidi pertalite, dikasih program mobnas dengan spek minum BBM pertamax. Yang sudah kaya dan beli mobil, tunggu antrian program pengurangan subsidi, sambil antri pertalite. Mungkin si DIa lagi sibuk, banyak pikiran, banyak urusan bisnis, banyak masalah,nulisnya beda... Atau lagi mancing emosi saja
Kang Sabarikhlas
"Habis gelap, nDladap-ndladap". Tadi saya alami...lha wong nganggur ketiduran diteras sayup-sayup dengar suara adzan, langsung bangkit jalan kepleset minyak, kesandung tabung Lpg 3kg kosong, badan oleng kepala kebentur meteran listrik didinding!.. Alhamdulillah,.nikmat mana lagi yang kau dustakan... jujur saja kepala saya pusing-sing.!.. eh..selagi duduk bertahan tenangkan diri, mata melihat Bentor parkir depan rumah ada tulisannya Pulih lebih cepat, Bangkit lebih kuat.... Semoga....Aamin.
Budi Arianto Tarjak
Karena tahu Abah jualan listrik, sebelum 1/4 baca tulisan hari ini persepsi langsung kebentuk kalau Abah berat sebelah. Nggak dibahas kenapa harga LPG kita itu jadi lebih mahal? Komponen prokduksi LPG yg mana bikin mahal? Kenapa proyek Pipanisasi Gas akan lebih mahal dibandingkan dengan memaksimalkan Listrik? Katanya kita banyak Gas, meskpiun sebagian sudah di export ke Fujian. Di negara maju bukannya energi pembangkit listrik pun Gas? dan meskpiun listrik nya ada, masyarakat tetap boleh pasang instalasi gas untuk rumah.
EVMF
Milton H. Spencer dan Orley M. Amos, Jr. didalam bukunya "Contemporary Economics" mengatakan bahwa subsidi, baik itu berupa "cash transfer" maupun "in kind subsidy" mestinya untuk "mencapai tujuan tertentu" yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Disini sepertinya, jangankan kesepahaman untuk mencapai tujuan tertentu; cara pandang terhadap subsidi-pun, baik itu cara pandang "profit loss" maupun "cost lost" selalu saja menjadi perdebatan yang panjang. Pendekatan "profit loss" : subsidi diartikan sebagai selisih antara harga jual dan harga pokok, yakni berupa laba; laba tersebut yang kemudian ditanggung oleh Pemerintah, sehingga subsidi adalah kebijakan menjual komoditas dengan harga pokok. Bagaimana jika Pemerintah sendiri sebagai produsen komoditas tersebut? Sebagai contoh, Pemerintah (BUMN) sebagai produsen LPG, menjual dengan harga pokok, maka produsen LPG (Pemerintah/BUMN) tidak untung dan juga tidak rugi selama masa subsidi berlangsung; sehingga dapat disimpulkan bahwa Pemerintah tidak mengeluarkan anggaran untuk subsidi, kecuali menjualnya di bawah harga pokok.