Oleh: Hasan Aspahani
SEBAGAI wartawan, saya tak matang di lapangan. Dalam karir saya yang –astaga, 20 tahun juga lamanya saya jalani sampai saya menuliskan cerita ini– paling lama saya hanya dua tahun jadi reporter. Itu gabungan pengalaman dari masa kerja beberapa koran di grup kami, grup surat kabar terbesar di negeri ini.
Bukan karena begitu hebatnya saya, sehingga melesat lekas jenjang karir saya, tapi pasti karena koran-koran kami berkembang terlalu lekas.
Maka kebutuhan redaktur dan posisi fungsional lainnya di redaksi harus lekas diisi. Kami para reporterlah yang dikarbit untuk mengisinya.
Ya, saya harus katakan itu dengan jujur: dikarbit. Terutama saya. Karena kami sebenarnya belum siap untuk jadi redaktur, kami belum matang di lapangan.
Saya baru enam bulan di lapangan, jadi reporter kriminal, mengisi pos liputan di kepolisian, kejaksaan, dan PN, atau di manapun peristiwa kriminal terjadi, ketika redpel ”Metro Kriminal” memanggil saya.
Saya baru pulang dari liputan siang. Jam dua, kami para reporter sudah harus kembali ke kantor, ada cukup waktu dua jam untuk mengetik hasil liputan hari itu. Dalam hal ini saya bisa lekas. Satu jam cukup untuk dua berita. Selebihnya saya menulis berita ringan, feature bersambung, hasil pengamatan kota, atau berita lain sedikit analisis data. Cara menulis seperti itu bikin saya produktif. Empat atau lima berita sehari bisa saya setor.
Ada running news yang sudah saya jaga liputannya sebulan lebih. Selama itu saya memasok berita utama di halaman depan. Saya bikin headline hat-trick pangkat 10 –bukan hanya tiga kali berturut-turut, tapi lebih dari tiga puluh kali!
Sebagai wartawan baru, saat itu karena berita itu, di kantor saya jadi perhatian, di lapangan di kalangan para wartawan senior, media lokal maupun perwakilan media Jakarta, saya pun mulai dikenal. Beberapa wartawan nasional yang rada malas malah minta bahan liputan ke saya. Saya tak pernah pelit. Saya beri saja, toh media-media Jakarta itu bukan saingan koran kami juga. Kalau ada kasus di kota kami yang diangkat di media nasional, pembaca kami malah jadi meningkat. Koran nasional, apalagi TV, paling berapa menit memberitakan. Malah bikin penasaran, orang nyari info lebih lengkap di koran kami.
”Masih berita Sandra, Dur?” tanya Bang Eel. Namanya sebenarnya Ilyas. Tapi kami semua, dan sepertinya semua orang di kota kami memanggil dia dengan nama akrabnya: Eel, dari tukang parkir permainan ketangkasan sampai kapolres, termasuk walikota.
Suaranya parau, keras, sekeras perangainya. Parau suaranya seperti KarniIlyas. Bang Eel wartawan yang berdisiplin. Dia yang wawancara saya ketika saya direkrut. Dia tanya apa agama saya, pertanyaan yang mula-mula terasa agak mengganggu saya, tapi kami akhirnya tertawa, ketika tahu apa maksud pertanyaannya itu. Dia bilang, kalau kamu Islam, mulai sekarang nabi keduamu deadline, setelah Nabi Muhammad.
Sebagai atasan dan bawahan mengembangkan hubungan yang saling membutuhkan. Kami cocok. Sejak hari pertama dia banyak mengandalkan saya. Saya pun memasok berita-berita yang memenuhi 13 rukun iman berita, layak headline, dan bikin oplah koran kami naik terus.
”Masih, Bang. Ada perkembangan baru. Info dari dokkespol dari hasil otopsi, Sandra hamil, itu bisa ke mana-mana isunya, Bang,” kataku, taruh tas sandang di samping komputer dan keluarkan notes.
”Koran lain tahu? Itu tadi jumpa pers?” kata Bang Eel. Pertanyaan khas dia, redpel yang selalu menuntut berita eksklusif.
”Bukan jumpa pers, tapi beberapa wartawan ada tadi,” kataku.