Gurita Bisnis Tes PCR, Perusahaan Importir Paling Diuntungkan

Sabtu 30-10-2021,14:00 WIB
Reporter : syindi
Gurita Bisnis Tes PCR, Perusahaan Importir Paling Diuntungkan

radartasik.com, JAKARTA - Pemerintah mengeluarkan aturan wajib tes PCR dan vaksin untuk penerbangan pesawat keluar masuk Jawa-Bali serta perjalanan darat laut udara di pulau Jawa-Bali.

Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 21 Tahun 2021 tentang KetenA­tuan Perjalanan Orang Dalam Negeri pada Masa Pandemi Corona Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Anggota DPR RI Fraksi PKS Sukamta menyebut bahwa kebijakan ini lebih kuat muatan bisnisnya daripada tujuan kesehatan.

“Kebijakan ini aneh dan terlalu jelas motifnya. Data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat nilai impor alat tes PCR hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp 2,27 triliun melonjak drastis dibandingkan dengan bulan Juni senilai Rp 523 miliar,” ujarnya.

Kata Sukamta, para importir kit tes PCR ini luar biasa. Berani dan punya terawangan jitu bisa menduga bahwa kebutuhan kit PCR akan meningkat. Padahal, bulan lalu belum ada kebijakan soal kewajiban tes PCR dikeluarkan oleh pemerintah.

Anggota Badan Anggaran DPR RI ini kemudian memberikan perhitungan kasar gurita bisnis tes PCR. “Kebutuhan alat tes PCR per hari sekitar 100 ribu-200 ribu kit. Artinya, sebulan bisa mencapai 2,8-5,6 juta kit. Jika harga tes PCR Rp 300 ribu saja potensinya mencapai Rp 800 miliar sampai Rp1,6 triliun per bulan,” bebernya, Jumat (29/10/2021).

Bahkan sejak pandemi Covid-19 telah dilakukan tes Covid-19 mencapai 45,52 juta, dengan total estimasi nilai pasar bisnis tes Covid-19 sudah menembus angka Rp15 triliun. ”Ini jelas bisnis menggiurkan di tengah pandemi yang bikin ekonomi lesu,” tuturnya.

Lalu siapa yang menikmati? Sukamta kemudian menampilkan data bahwa perusahaan swasta yang paling banyak menikmati bisnis ini.

Pertama, negara eksportir. Menurut data BPS impor reagent untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai 516,09 juta dolar AS atau setara Rp 7,3 triliun.

China dan Korea menjadi negara eksportir terbesar senilai masing-masing USD 174 juta dolar dan USD 181 juta dolar, disusul AS sebesar USD 45 juta dolar , Jerman USD 33 juta dolar.

Kedua, perusahaan importir swasta dalam negeri. Data Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit hanya 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen.

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini menambahkan alasan bahwa motif bisnis lebih kuat dibandingkan dengan motif kesehatan yaitu vaksinasi dan kebijakan pembatasan pergerakan.

“Persyararatan perjalanan dalam negeri khususnya wilayah Jawa Bali dengan mewajibkan test PCR dan sudah vaksin menjadi kebijakan aneh dan di duga motif ekonomi lebih kuat dibandingkan alasan kesehatan,” terangnya.

Pernyataan Sukamta ini didasari oleh beberapa hal. Pertama, kondisi di Indonesia status Covid-19 telah menjadi pandemi. Kasusnya menyebar merata di semua wilayah. Tes PCR juga bukan jaminan bahwa penumpang benar-benar terbebas dari virus Covid-19. Maka mewajibkan PCR dengan kondisi persebaran masif tidak akan berdampak signifikan.

Kedua, syarat PCR dibarengi dengan syarat sudah vaksinasi. Kebijakan ini kontraproduktif dengan kebijakan vaksinasi. Jumlah vaksinasi dosis 1 telah mencapai 50 persen, dan dosis 2 30an persen. Alasan giatnya masyarakat vaksinasi agar bisa segera beraktivitas secara normal.

“Syarat tes PCR membuat rakyat berpikir ulang ikut vaksinasi yang harus susah payah, panas-panasan, antrean panjang. Namun setelah vaksin tetap saja harus PCR untuk melakukan perjalanan dan kegiatan secara normal. Setelah edaran ini dijalankan, rakyat menjadi malas untuk ikut vaksinasi,” sebutnya.

Tags :
Kategori :

Terkait