Kisah Lucu Sistem Zonasi PPDB di Kota Tasikmalaya, Panitia Keceplosan Sebut Angka Rp 15 Juta

Kisah Lucu Sistem Zonasi PPDB di Kota Tasikmalaya, Panitia Keceplosan Sebut Angka Rp 15 Juta

Kisah Lucu Sistem Zonasi PPDB di Kota Tasikmalaya, Panitia Keceplosan Sebut Angka Rp 15 Juta--

Rumahnya jauh dari jangkauan sistem zonasi PPDB. Dia walau pejabat di dinas pendidikan yang membawahi sekolah menengah di Kota Tasikmalaya, tetapi dia gunakan power itu.

Alasannya sederhana, dirinya tidak ingin mendidik anak dengan ketidakbaikan. Yakni masuk ke sekolah dengan melanggar aturan sistem zonasi PPDB. 

Menurut pejabat itu, masalahnya sistem zonasi PPDB sudah begitu rumit. Pun di KotaTasikmalaya. Istilah dia, sejenis ada mafianya. 

Siapa yang ‘main’ dalam memanfaatkan sistem zonasi PPDB, jelas dia, orangnya itu-itu juga.

Pejabat di Dinas Pendidikan seperti dirinya, tetap tidak dapat berbuat banyak selain mengimbau pihak sekolah dalam PPDB harus fair dan amanah.

Dari obrolan dengan Radartasik.com, pelaku atau ‘pemain’ dalam PPDB terkesan sudah demikian biasa dan tebal muka. 

Daya tarik uang lebih menggoda. Mengalahkan nikai-nilai moral sebagai pendidik.

Sistem zonasi PPDB adalah masa panen meraup uang dari para orang tua yang ingin anaknya diterima di SMA Negeri favorit.

Sekalipun tidak memiliki prestasi, rumah dinluar jangkauan sistem zonasi PPDB. Semua itu dapat dilabrak demi hal yang dianggap prestisius.

Ya, anak bersekolah di sekolah negeri favorit jadi sesuatu yang membanggakan. Dalam keyakinan orang tua tipe ini, anak sekolah di sekolah negeri favorit dianggap mampu menaikan status sosial.

Informasi yang Radartasik.com terima di lapangan, tarifnya masuk SMA Negeri favorit melalu ‘pemain’ di  tahun ini kisaran Rp 20 jutaan.

Sistem zonasi PPDB menyulitkan para orang tua yang rumahnya di luar jarak zonasi. 

Mereka pusing harus menyekolahkan anaknya ke mana. Mau main uang tidak memiliki jumlah sampai puluhan juta.

Menggunakan power, mereka bukan pejabat. Hanya warga biasa. Jadinya, ya bingung itulah.

“Di lingkungan kita harus mendirikan sekolah sendiri. Ke mana-mana tidak masuk zonasi,” keluh Ogi Hakiki, warga Perum Baitul Marhamah 1 Sambongjaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: