Salah Kaprah tentang Dokter

Salah Kaprah tentang Dokter

Dokter Muh. Shoifi (kiri) menemani Dahlan Iskan melihat koleksi museum pendidikan fakultas kedokteran Unair, 19 November 2022.-- Foto: Harian Disway--

Anggap saja ada dokter calon spesialis yang karena darahnya biru maka dia diterima. Tapi untuk menjalani proses pendidikan selama 5 tahun tidak pernah ada lagi yang akan paham dengan warna darahnya. 

Kecakapan seorang dokter untuk menjadi dokter spesialis ada standar ujinya, dan itu sangat ketat.

Lalu tentang biaya yang mahal dan hanya yang berduit saja yang bisa sekolah spesialis. Ini juga agak aneh. 

Mungkin ada yang takut mendaftar sekolah karena belum punya cukup biaya. Misalnya, karena barusan berkeluarga dan lain-lain. Tapi mengatakan bahwa yang bisa sekolah spesialis hanya anak-anak yang mampu ini tidak benar. Apalagi dasarnya hanya 1 foto yang katanya dokter tidak berani sekolah karena tidak mampu. 

Kalau dokter-dokter tidak mampu dan tidak bisa sekolah spesialis mau pamer foto, bisa jadi kolase yang sangat besar.

Bahkan seandainya dilakukan survei pun mayoritas yang sedang menjalani sekolah spesialis saat ini adalah dokter yang secara ekonomi biasa-biasa saja. Yang dari kampung dan kurang mampu secara ekonomi sangat banyak. Pasti jauh lebih banyak dari yang mampu atau pun berdarah biru.

Sekarang tentang produksi dan distribusi. 

Pak Menkes bilang siap berdebat, ini hal baru dan bagus. Sekalian bisa dibuat debat terbuka: apa masalah kesehatan dan kedokteran di negeri ini sebenarnya?

Ada ilustrasi kejadian nyata yang dialami oleh seorang teman. Juga dialami banyak dokter spesialis (ditulis dalam kata ”saya”):

"Saya pernah di daerah terpencil di Kalimantan selama 6 tahun. Mulai menjadi Pegawai Tidak Tetap (PTT), kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil. Setelah lulus spesialis saya kembali ke Kalimantan selama 2 tahun, menjadi dokter spesialis. Satu-satunya di 5 kabupaten sekitarnya. Insentif dari Pemda baru saya terima di bulan ke 7. Sebesar 10 juta (bulan 1-6 tidak ada). Plus gaji tetap sebagai PNS sekitar 3 jutaan sebagai golongan 3B saat itu.

Bagaimana dengan layanan di rumah sakit? Pasien hampir tidak ada di poli. Per hari rata-rata sekitar 3-5 pasien yang datang. Jumlah operasi sangat minim. Jika beruntung bisa 1 pasien dalm 2 minggu. Belum lagi pasien yang harus dirujuk karena kuota pembiayaan BPJS yang tidak memenuhi.”

Melihat fenomena di atas jika fokusnya hanya hitungan ketersediaan dokter –seperti hitungan pembagian matematika– maka dapat dipastikan problematikanya pasti akan berulang terus. Ketersediaan dokter spesialis tidak otomatis akan diserbu masyarakat. Tidak semua rumah sakit siap dengan SDM, alat, dan juga sistem penunjangnya. 

Tidak semua pemerintah daerah mampu dan mau memberikan insentif yang layak agar dokter spesialis betah dan rela bertugas di daerah.

Proses pembenahan dan penambahan produksi dokter spesialis ini harus didasari data kebutuhan yang akurat. Based on demand, secara spesifik antar daerah yang mungkin tidak sama.

Produksi, distribusi (pemerataan), dan pemenuhan kesejahteraan dokter spesialis menjadi urgensi yang harus segera dilakukan. Ketiganya harus berjalan beriringan. Tidak bisa satu meninggalkan yang lain. Dokter tidak bisa dibuat produksi masal. Risikonya sangat besar. Suatu saat akan terjadi over kuota. Kompetisi antar dokter hanya akan merugikan pasien dan masyarakat. Dan ketahanan kesehatan bangsa pasti akan rapuh. Karena dokter berhubungan dengan manusia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: