Literasi Baca Tulis sebagai Modal Kecakapan di Abad 21

Literasi Baca Tulis sebagai Modal Kecakapan di Abad 21

Ema Astri Muliasari, Mahasiswi S2 PGSD UPI Kampus Tasikmalaya.-Foto:dokradartasik.diswa.id/dokema-

RADARTASIK.COM - Dunia sekarang telah memasuki Abad ke-21 yang  merupakan era digital dan global. Abad ke-21 ini akan dipenuhi dengan orang-orang kreatif, inovatif, produktif, hangat dalam berinteraksi sosialnya dan berperadaban tangguh. Salah satu kecakapan yang harus dimiliki adalah literasi baca tulis.

Kemampuan Abad ke-21 menuntut perubahan secara sistematis dalam dunia pendidikan untuk mempersiapkan generasi masa depan yang mampu bekerjasama dalam tim, memecahkan masalah sehari-hari, berfikir kritis, menguasai teknologi serta mampu berkomunikasi dengan efektif.

Ciri Abad ke-21 menurut Kemendikbud adalah tersedianya informasi dimana saja  dan kapan saja (informasi), adanya implementasi penggunaan mesin (komputasi), mampu menjangkau segala pekerjaan rutin (otomatisasi) dan bisa dilakukan dari mana  saja  dan kemana saja (komunikasi).

Pada era global ini kompetisi sangat tinggi dengan perubahan yang berlangsung cepat dan tidak dapat diprediksi. Dalam menghadapi tantangan tersebut, anak cucu kita harus dibekali dengan penguatan karakter, pengetahuan dan keahlian. Ketiga hal tersebut dapat diperoleh melalui literasi.

Literasi lebih dari sekedar membaca dan menulis. Literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Aktivitas membaca sebagai inti dari literasi saat ini belum populer, budaya yang terputus dari para pendiri bangsa yang gemar membaca ini harus digelorakan kembali.

Di abad 21 ini, ada beberapa literasi dasar yang harus kita kuasai di antaranya: literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial,  serta literasi budaya dan kewargaan. 

Literasi baca-tulis merupakan induk dari semua literasi tersebut dan sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari.  Pada mulanya literasi baca-tulis sering dipahami sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf. Melek aksara dipahami sebagai pemahaman atas informasi yang tertuang dalam media tulis sedangkan buta huruf merupakan hambatan menuju kualitas hidup yang lebih baik. 

Literasi baca-tulis dipahami sebagai kemampuan berkomunikasi sosial di dalam  masyarakat. Membaca adalah kunci untuk mempelajari segala ilmu pengetahuan, termasuk informasi dan petunjuk sehari-hari yang berdampak besar bagi kehidupan. Semakin banyak ragam jenis bacaan yang dibaca, dapat menjadikan kita  memahami sesuatu yang belum pernah kita ketahui.

Tentu saja hal ini akan memperluas wawasan dan menambah serta membuat kita mampu menentukan pilihan terbaik dalam hidup. Berkaitan erat dengan membaca, kemampuan menulis pun penting untuk dimiliki dan dikembangkan, karena keduanya saling berkaitan. Dengan menulis, kita mampu memnyampaikan ide, gagasan dan pemikiran kita serta mengabadikan “rasa”.

Literasi baca-tulis harus ditanamkan sejak dini dari mulai lingkungan terkecil.  Pembiasaan membaca bukan hanya tugas pendidik di sekolah, namun sudah merupakan kewajiban setiap warga masyarakat. Bagi umat Islam, perintah membaca telah diturunkan sebagai wahyu pertama yang diterima  Nabi Muhammad SAW dan itu adalah perintah membaca.  

Membaca tidak sekedar teks dengan kata-kata dan maknanya, lebih dari itu seluruh peristiwa dalam keseharian juga perlu dibaca (Abdul Rahman, 2017:106). Hal inilah yang menjadikan pentingnya membaca karena membaca mampu mengasah kepekaan atau kepedulian yang mulai runtuh di negara ini.

Literasi baca-tulis  merupakan keterampilan yang bisa dilatihkan dengan pembiasaan sejak dini. Hal ini dapat terwujud dengan adanya sinergi Tri Pusat Pendidikan yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. 

Pertama, keluarga berperan penting dalam mewujudkan budaya baca-tulis ini pada dasarnya bisa dipupuk di setiap rumah atau keluarga. Orang tua menjadi teladan yang utama dan pertama dalam berliterasi. Misalnya dengan meluangkan waktu untuk membaca bersama, membacakan dongeng, membuat perpustakaan keluarga dan masih banyak hal menarik lainnya untuk menumbuhkan generasi literat yang dimulai dari rumah.

Kedua, sekolah sebagai sarana pendidikan formal. Oleh karena itu, sekolah dapat dijadikan tempat untuk membudayakan membaca dan menulis . Melalui Permendikbud RI Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, mengisyaratkan pengembangan dan pembelajaran, khususnya potensi unik dan utuh setiap anak melalui kegiatan wajib pembiasaan membaca buku  non-pelajaran setiap hari. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: