Tapi Abah ingin ke Kuningan dulu. Lalu dilanjutkan ke Tegal, Pekalongan, dan berakhir di Semarang.
Bagi saya, itu perjalanan perdana satu mobil bersama Abah. Saya tidak menyangka, tiba-tiba Pak Yanto meminta saya yang mengemudi. Saya pikir mengantar sebatas ke Kuningan. Selepas itu saya bisa langsung pulang ke Tasik. Makanya Kang Agus (saat itu manajer pemasaran) yang datang ke Radar Cirebon bersama saya, menunggu di Kuningan. Ternyata tugas mengemudi harus dilanAjutkan menuju Tegal.
Abah ingin melihat Radar Tegal. Kang Agus pun akhirnya saya minta mengikuti. Jaga-jaga kalau tugas mengemudi hanya sampai Tegal. Jadi pulang ke Tasik mudah. Sebab kendaraan sendiri sudah siap.
**
Di dalam mobil, selain saya dan Pak Yanto (wadirut Radar Tasik), ada Pak Suparno (komisaris Radar Tasik)--beliau wafat 9 Desember 2020 dan dimakamkan di Ngawi Jawa Timur (kami yang satu mobil itu, walau tidak bersamaan datangnya, turut mengantar pemakaman almarhum di kampung halamannya kawasan Kaki Gunung Lawu).
Menemani Abah dalam perjalanan Cirebon-Kuningan, awalnya saya tidak percaya diri. Terutama faktor tidak bisa mengemudi ngebut seperti yang disukai Abah. Apalagi yang di dalam mobil para bos. Ada beban mental menjaga keselamatan mereka. Jadi memilih kecepatan menengah saja.
Kami berempat, sepanjang perjalanan berbincang banyak hal. Mulai tentang politik, bisnis media, masalah sosial, kepemimpinan, hingga ulasan singkat perjuangan Abah membangun media jaringan terbesar se-Indonesia. Tentu ada juga gurauan-gurauannya. Jadinya saya seperti sedang mengikuti diklat khusus. Narasumbernya langsung sang maestro koran: Dahlan Iskan. Saya memang lebih fokus mengemudi.
Tetapi banyak yang bisa disimak dari perbincangan mereka. Aliran ilmu yang begitu deras. Berbahagia sekali saya saat itu. Tidak semua orang memiliki kesempatan sangat privat, memperoleh penularan ilmu dari Abah.
Begitulah gaya di grup kami. Para bos seperti Pak Dahlan Iskan, almarhum Pak Suparno, Pak HM Alwi Hamu, Pak Yanto, Pak Dwi Nurmawan, menularkan ilmu bisnis kemediaannya sekaligus meng-upgrade semangat timnya, bisa di mana saja tempatnya.
Termasuk sambil perjalanan di dalam mobil. Ada kalanya keputusan-keputusan penting dihasilkan dari diskusi atau rapat khusus di perjalanan di dalam mobil.
Saya penasaran. Sejak lama sekali ingin tahu kenapa Pak Dahlan Iskan begitu menggebu menerbitkan koran di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia. Termasuk di Tasikmalaya.
Ya, saya penasaran sekali. Ingin mendengar langsung dari kreatornya. “Indonesia terlalu luas. Tidak cukup diurus Jakarta. Agar Indonesia menjadi negara maju, semua daerahnya harus maju. Maka harus ada koran-koran di semua daerah. Makanya kita dirikan koran-koran itu,” jawab Abah.
Koran-koran di semua daerah yang beliau perintahkan untuk diterbitkan--termasuk Radar Tasikmalaya, harus mengambil peran dalam memajukan daerahnya masing-masing. Salah satunya dengan pemberitaan yang sehat. Baik berita yang sifatnya kontrol sosial, informasi, menginspirasi, mengedukasi hingga menghibur.
Pak Dahlan percaya, di daerah itu banyak orang-orang pintar dan hebat. Bahkan bisa lebih pintar dan hebat dari tokoh-tokoh yang sering tampil di media nasional. ”Mereka tidak kalah pintar. Hanya tidak mendapat ruang di media nasional. Tugas Anda harus memberi ruang untuk menampilkan mereka di media lokal kita. Baik di koran maupun televisi,” ujar mantan Menteri BUMN era Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Pak Dahlan yakin, jika orang-orang pintar dan hebat itu diketahui publik, besar manfaatnya. Mereka akan jadi tokoh-tokoh lokal yang menginspirasi dan layak dijadikan panutan. Baik karena kiprahnya maupun konsep dan pemikirannya.
Tujuannya, misal ketika perhelatan pemilihan kepala daerah, akan banyak pilihan bagi masyarakat.
Pak Dahlan memahami, tokoh-tokoh lokal sulit mendapat ruang di media terbitan Jakarta. Pun terbitan kota provinsi semisal Bandung, Surabaya, Medan. Koran terbatas halamannya, televisi terbatas durasi tayangnya.
Di koran Anda, papar Pak Dahlan, tokoh-tokoh lokal itu bisa menyampaikan gagasannya untuk membangun daerahnya. Baik sebagai bupati, wali kota maupun gubernur.
”Peran koran Anda juga menjadi kontrol. Agar para bupati dan wali kota, tidak menjadi raja-raja kecil di daerahnya. Ini tidak baik juga. Harus ada yang mengontrol. Jadi Anda bekerja (mengelola media) di Jakarta atau di Ciamis, sama saja perannya. Tidak usah kecil hati,” tegas Pak Dahlan.
Penegasan beliau saat itu, bagaikan hunjaman jangkar yang ditenggelamkan ke dasar samudera. Semakin meneguhkan saya untuk mengelola Radar Tasikmalaya lebih baik dan profesional. Demi misi besar: daerah maju Indonesia pun hebat!
**
Sekitar September 2009, bertepatan Bulan Ramadan, Pak Dahlan bersama istrinya, Ibu Hj Nafsiah Sabri, ada perjalanan dari Yogyakarta-Banyumas-Bandung. Rutenya jalur selatan. Lagi-lagi bersama Pak Yanto dan Pak Suparno. Mobilnya sama.
X Trail-nya Pak Yanto. Nah, dari Tasik ke Bandung, saya diajak Pak Yanto. Lagi-lagi saya bagian mengemudi. Belakangan saya tahu, rupanya Pak Yanto dari Yogyakarta-Tasik yang mengemudi, merasa tidak nyaman karena tidak bisa ngebut seperti disukai Pak Dahlan.
Jadi, di Tasik tugas mengemudi dialihkan ke saya. Walau pada kenyataannya gaya mengemudi saya lebih lambat he he he.
Pak Dahlan beberapa jam saja singgah di Radar Tasikmalaya. Begitu datang, beliau langsung keliling Graha Pena (sebutan kantor kami). Mulai ruang depan, ruang redaksi, mesin cetak, sampai toilet diperiksanya. Tidak diduga, di-counter beliau membungkukkan badan. Jari telunjuknya menyentuh lantai. Lalu berdiri. Diamatinya ujung jari telunjuknya. “Bersih,” ujarnya.
Di ruang percetakan beliau amati mesin cetak begitu cermat. Lalu, memanggil saya agar mendekat, ”Anda hebat. Bisa merawat mesin.
Saya tahu kantor yang biasa dibersihkan dan yang tiba-tiba dibersihkan,” pujinya sambil menepuk bahu saya. Wah, plong dan tersanjung sekali rasanya.
Sebab, banyak GM hingga direktur koran di grup kami, kena teguran keras beliau karena kantornya kotor. (Saya tidak heran, ketika Pak Dahlan menjabat Menteri BUMN suka sidak kebersihan kantor perusahaan-perusahaan di bawah BUMN).
Menunggu tibanya waktu berbuka puasa, sekitar 1 jam menjelang magrib, Pak Dahlan mengajak kami berkumpul di ruang rapat. Beliau begitu antusiasnya. Berdiri di papan tulis, mengulas konten koran. Sampai rukun iman berita ala beliau dipaparkan. Termasuk teknik scoring berita. Tujuannya, kata beliau, agar berita di Radar Tasikmalaya benar-benar ada nilai beritanya.
“Nanti, ketika internet sudah begitu mudah diakses dan murah, kemungkinan hanya ada satu atau dua koran di tiap kota yang bertahan. Saya tidak tahu, apakah yang bertahan itu koran Anda atau koran yang lain,” prediksi Pak Dahlan.
Selepas diskusi itu, kami berpikir keras. Bagaimana menyambut era internet. Era yang sebagian orang yakin akan banyak koran yang mati. Maka, lahirlah televisi bernama Radar TV. Diikuti media online Radartasik.com. Jadilah Radar Tasikmalaya satu-satunya media konvergensi (koran-televisi-online) di Priangan Timur. Ini keunggulan media kami.
Apa yang Pak Dahlan prediksikan, sekarang ini sangat terasa. Akses internet yang jangkauannya luas dan murah, berdampak besar terhadap keberadaan koran. Termasuk Radar Tasikmalaya.
Menyerahkah?
Tidak. Kami terus mencari jalan. Berjuang keras beradaptasi dengan perubahan zaman. Melakukan berbagai pembaruan. Baik konten produk maupun distribusi produknya. Salah satunya melalui koran digital. Selain dipasarkan berupa koran print (cetak), koran Radar Tasikmalaya hadir dalam bentuk e-paper. Bisa diunduh di android maupun iPhone melalui aplikasi Radartasik.id. Inilah salah satu upaya adaptasi. Dalam pepatah sunda mah: ngindung ka waktu ngabapa ka zaman.
**
17 tahun Radar Tasikmalaya. Bukan perjalanan singkat. Semoga beragam pemberitaan di koran Radar Tasikmalaya, Radartasik.id, Radartasik.com, juga program-program Radar TV, terus memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Menjadi bagian perubahan kota dan kabupaten yang ada di Priangan Timur. Wilayah Tasik-Ciamis-Banjar-Pangandaran, Garut, bisa terkawal menjadi daerah maju dan berkembang pesat. (*)