Awal Puasa dan Idul Fitri 1443 H Diperkirakan Kembali Tidak Serentak, MUI: Tidak Perlu Dijadikan Polemik

Awal Puasa dan Idul Fitri 1443 H  Diperkirakan Kembali Tidak Serentak, MUI: Tidak Perlu Dijadikan Polemik

Radartasik.com, JAKARTA — Jatuhnya awal puasa Ramadan 1443 Hijrah/2022 diperkirakan tidak serentak. Pasalnya Muhammadiyah juah hari telah menetapkan 1 Ramadan jatuh pada 2 April, sedangkan pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU) sangat mungkin mengawali puasa pada 3 April. 

Potensi terjadinya perbedaan ini juga diprediksi akan terjadi pada penetapan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha 1443 H nanti.

Adanya potensi perbedaan penetapan awal Ramadan, 1 Syawal, dan Idul Adha tersebut disampaikan Guru Besar Astronomi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin dalam webinar yang diadakan Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPII) dan LPBKI MUI di Jakarta, Kamis (24/03/2022) kemarin. 

''Dengan wujudul hilal 1 April itu sudah wujud,'' katanya. Dengan demikian, ormas keagamaan yang menggunakan acuan wujudul hilal bakal mulai berpuasa 2 April.

Sementara itu, bagi ormas keagamaan yang menggunakan rukyat, pada 1 April hilal belum bisa dirukyat atau diamati. Karena itu, 1 Ramadan 1443 H akan jatuh pada 3 April. 

''Secara rukyat, tidak mungkin terjadi rukyat (pada 1 April), sehingga awal Ramadan ini akan terjadi perbedaan,'' jelas mantan kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) itu.

Begitu pula 1 Syawal. Thomas mengatakan, dengan kriteria wujudul hilal, Lebaran jatuh pada 2 Mei. Namun, dia menjelaskan bahwa ada potensi hilal tidak bisa dirukyat pada 30 April. Dengan demikian, 1 Syawal 1443 H bagi yang berpatokan terhadap rukyat bisa jatuh pada 3 Mei. 

''Kecuali nanti di wilayah Sumatera ada yang bisa rukyat (hilal), Lebaran 2 Mei,'' katanya.

Demikian pula penetapan awal Zulhijah sebagai patokan Idul Adha (10 Zulhijah). ''Perlu disampaikan, dengan perbedaan kriteria tersebut, keputusan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah ada potensi perbedaan,'' ujar Thomas.

Atas kemungkinan terjadinya perbedaan dalam penentuan awal puasa itu, Wakil Ketua Umum MUI Marsudi Syuhud menuturkan, bahwa terjadinya perbedaan adalah hal biasa bagi umat Islam. Dan menurutnya kaum muslim di Indonesia perlu menyikapi perbedaan tersebut secara dewasa serta tidak perlu dijadikan sebuah polemik. Sebab masing-masing metode yang digunakan memiliki landasan hukum.

“Kita sudah diajarkan bagaimana cara menyikapinya,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama Sekjen MUI Amirsyah Tambunan menyampaikan perbedaan dalam pendekatan hisab dan rukyat itu sebuah keniscayaan. “Di satu sisi untuk memahami dan sebagai bentuk toleransi,” jelasnya.

Amirsyah menegaskan 1 Ramadannya sama. Namun yang berbeda adalah tanggal penetapannya. Kajian ini sering dilakukan dan diharapkan untuk melengkapi kajian kajian sebelumnya.

Sementara itu guru besar astronomi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Thomas Djamaluddin menyatakan kemungkinan terjadinya perbedaaan awal Ramadan itu bisa terjadi karena kriteria dalam penentuannya berbeda-beda.

Dia pun menginformasikan jika alat bantu rukyat dianggap tidak terlalu membantu dalam menentukan hisab untuk menentukan awal Ramadhan. “Hisab sendiri mengalami perkembangan. Semakin besar elonasi bulan akan terlihat, faktor pengganggu terlihatnya hilal adalah sinar senja matahari,” jelasnya. (jpc)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: