Duka Untuk Anak Kembar yang Meninggal
Reporter:
tiko|
Minggu 13-03-2022,21:20 WIB
Oleh: Ir. Taufiq Rahman, SH, MH, CPCLE
(Forum Pemerhati Jalan Raya)
***
DITENGAH tengah beberapa pemberitaan dan sorotan masyarakat atas prilaku segelintir pengendara motor gede (moge) tertentu pada beberapa waktu lalu, kini kita mendengar kabar menyedihkan dan memperihatinkan atas meninggalnya 2 anak kembar dalam kecelakaan lalu lintas yang diduga akibat tertabrak kendaraan moge di daerah Pangandaran.
Dalam beberapa kejadian lainnya, beberapa pengemudi truk atau sopir angkutan umum yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal, ternyata pengemudinya berakhir dengan penahanan dan pemidanaan yang lama pidananya bervariasi. Aparat penegak hukum betul-betul menegakan proses hukum dengan tuntas.
Sejatinya menurut Pasal 310 ayat (4) UU RI No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan pada pokoknya menyatakan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Sedangkan menurut Pasal 311 ayat (1) Jo ayat (4) UU RI No. 22 Tahun 2009 ditegaskan pada pokoknya bahwa setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Secara gramatikal, kesengajaan pada Pasal 311 ayat (1) jo ayat (4) tersebut adalah pada kesengajaan cara mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara yang membahayakan bagi nyawa orang bukan kesengajaan pada perbuatan menabrak/menghilangkan nyawa orang. Bahwa hilangnya nyawa itu hanya sebagai akibat dari kesengajaan cara mengemudikan kendaraan tersebut.
Bahwa bentuk-bentuk kesengajaan ada tiga yaitu Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), Kesengajaan sebagai kepastian (opzet als zekerheldsbewustzijn) dan Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).
Apakah cara mengemudikan kendaraan tersebut sebagai maksud untuk membahayakan orang, atau apakah cara-cara mengemudikan kendaraan tersebut tidak dimaksudkan untuk membahayakan orang akan tetapi pasti dapat membahayakan orang atau cara mengemudikan kendaraan tersebut tidak dimaksudkan untuk membahayakan orang akan tetapi pelaku patut mengira-ngira atau menduga bahwa cara mengemudikan kendaraan tersebut kemungkinan dapat membahayakan orang.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kecelaan dimaksud akibat kelalaian atau kesengajaan ? hanya penyidik lah yang berwenang menentukan derajat perbuatan tersebut.
Kita juga mendengar pemberitaan bahwa antara terduga pelaku dengan keluarga korban (bukan dengan korban) telah melakukan perdamaian. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan perdamaian tersebut perkara pidana tersebut dapat dihentikan dengan mekanisme restorative justice atau keadilan restorative yang memegang prinsip adanya pemulihan terhadap korban?
Berdasarkan SK Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI NO : 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tanggal 22 Desember 2020 Tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum pada pokoknya menyatakan bahwa keadilan restorative berlaku dalam ruang lingkup tindak pidana ringan yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling besar Rp. 2,5 Juta.
Peraturan Kejaksaan (Perja) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada Pasal 2 dinyatakan bahwa Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan berasaskan diantaranya adalah asas keadilan dan kepentingan umum.
Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Jo ayat (3) huruf b pada pokoknya bahwa Penutupan perkara demi kepentingan hukum dilakukan dalam hal telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process) yang dilakukan dengan ketentuan diantaranya telah ada pemulihan kembali keadaan semula. Di dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan diantaranya kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi, respon dan keharmonisan masyarakat; kepatutan, kesusilaan, serta ketertiban umum.
Di dalam Pasal 4 ayat (2) ditegaskan pula bahwa penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan diantaranya pemulihan kembali pada keadaan semula;
Disamping itu, di dalam Pasal 5 ayat (1) Perja RI Nomor 15 Tahun 2020 tersebut ditegaskan bahwa Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut diantaranya tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Disamping itu, untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan terkait kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah) dapat dikecualikan.
Hal ini berarti secara a contrario berarti bahwa walaupun nilai kerugian yang diakibatkannya dibawah Rp2.500.000,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah), maka terhadap perkara tindak pidana yang dilakukan terhadap nyawa tidak memenuhi syarat untuk penghentian penuntutan atas tindak pidananya.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri No.8/2021, Persyaratan umum penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan Restoratif tersebut meliputi materiil dan formil. Ada 6 Persyaratan materiil diantaranya adalah tidak menimbulkan keresahan , tidak berdampak konflik sosial dan bukan tindak pidana terhadap nyawa orang.
Dari berbagai ketentuan di atas, maka atas perkara pidana tersebut di atas menurut hemat kami, tidak memenuhi syarat untuk diselesaikan dengan mekanisme restorative justice atau keadilan restorative dikarenakan perkara tersebut bukanlah perkara tindak pidana ringan dan kejadian tersebut menyebabkan hilangnya nyawa yaitu meninggalnya 2 orang anak-anak dengan ancaman pidanaya maksimal dapat sampai 12 tahun dan denda maksimal Rp 24 juta.
Di sisi lain, tidak mungkin nyawa bisa dipulihkan sebagaimana prinsip dasar restorative justice yang berasaskan pemulihan. Bahwa benar orang tua anak-anak yang meninggal adalah korban akan tetapi orang tuanya adalah korban yang tidak langsung akibat kecelakaan. Sedangkan anak-anak yang meninggal adalah korban langsung yang meninggal yang nyawanya tidak mungkin dipulihkan.
Disamping itu pula, bahwa oleh karena kejadian peristiwa meninggalnya anak tersebut di duga karena tertabrak di jalan raya yang merupakan area yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya. Secara psikologis, kejadian ini memunculkan rasa tidak aman di jalan raya bagi masyarakat umum.
Maka kepentingan penegakan hukum kasus ini bukan hanya kepentingan korban akan tetapi juga menyangkut kepentingan publik yang memiliki kepentingan hukum lain yang harus dilindungi oleh aparat penegak hukum atas rasa aman berlalulintas di jalan raya yang apabila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan keresahan serta dapat berdampak konflik sosial di jalan raya.
Bahwa telah terjadinya perdamaian antara korban dan pihak yang di duga pelaku, hal ini sangat baik tetapi tidak menjadi syarat yang cukup untuk kemudian perkaranya dihentikan. Perdamaian antara korban dan tersangka, hanya sebagai salah satu pertimbangan hukum akan tetapi tidak menghilangkan proses penegakan hukum dan legal position perdamaian adalah untuk meringankan hukuman apabila dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.
Dalam Pasal 28D Amandemen Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan dalam pasal 27 (1) dinyatakan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Hal ini juga ditegaskan dalam UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 4 (1) yang menyebutkan Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
Oleh karenanya, berdasarkan pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa 'Negara Indonesia adalah Negara Hukum dan program PRESISI yang digagas oleh Bapak Kapolri saat ini yang mengedepankan prinsip-prinsip prediktif, responsibilitas, transparansi dan berkeadilan dengan 16 program prioritasnya diantaranya Pemantapan Kinerja Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, Peningkatan Kinerja Penegakan Hukum, Penguatan Penanganan Konflik Sosial dan Pengawasan Oleh Masyarakat Pencari Keadilan (Public Complaint).
Maka tentunya publik berharap agar kasus kecelakaan yang menyebabkan meninggalnya 2 orang naka-anak dibawah umur tersebut dapat dituntaskan. Sehingga menumbuhkan rasa keadilan bagi korban dan terbentuknya rasa aman bagi publik pengguna jalan. Juga jangan sampai ada disparitas penanganan perkara antara para supir truk, angkutan umum dan dengan pengendara lainnya.
Tidak lupa, kita berduka mendalam dan berdo'a semoga kedua almarhum ada dalam Ridho Alloh SWT serta kedua orang tuanya diberikan kesabaran, ketabahan serta pahala dari Alloh SWT. Mari kita kurangi keresahan di jalan raya dan tingkatkan ketertiban umum berlalulintas. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: