Subvarian Omicron yang Sulit Dideteksi Tes PCR Telah Menyebar di 50 Negara, Lebih Menular dari Omicron Lama
Reporter:
usep saeffulloh|
Sabtu 05-02-2022,09:00 WIB
Radartasik.com, Kewaspadaan masyarakat globa tengah meningkat seiring dengan merebaknya subvarian Omicron. Kini sudah di 50 negara kasusnya ditemukan.
Subvarian
Omicron, dari
Covid-19 yang dikenal dengan BA.2, memiliki karakteristik sulit dideteksi pada
tes PCR.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC)
Amerika Serikat (AS) menjelaskan subvarian tersebut lebih menular daripada
omicron asli yakni BA.1, sehingga cukup
untuk menimbulkan kekhawatiran.
Direktur CDC dr. Rochelle Walensky, mengakui tentang kemampuan menularkan BA.2 yang sedikit lebih unggul. Akan tetapi, tingkat penularannya hanya lebih tinggi 1,5 persen dari kasus di negara itu.
“Apa yang kita ketahui tentang BA.2 sejauh ini adalah bahwa virus itu memiliki keunggulan transmisi sederhana dibandingkan BA.1,” kata Walensky.
“Kami belum melihat penelitian yang menunjukkan subvarian itu lebih parah, kami juga belum melihat penelitian yang menunjukkan bahwa subvarian itu akan menghindari vaksin,” tambahnya.
Pakar kesehatan masyarakat mengatakan subvarian dapat memperlambat penurunan infeksi saat ini, tetapi kemungkinan penularan masih berlangsung. Di Denmark, subvarian BA.2 sudah menjadi dominan.
Walensky mengatakan hadirnya subvarian itu menunjukkan bahwa pelonggaran bukan langkah tepat. Sebaliknya, langkah-langkah mitigasi memperketat kegiatan harus tetap dilakukan. “Itulah sebabnya kami saat ini mempertahankan pembatasan,” tegasnya.
Tingkat Kematian akibat Omicron Lebih Tinggi dari Varian Delta AS juga telah mencatat lebih dari 75 juta kasus
Covid-19 yang dikonfirmasi dan lebih dari 897 ribu kematian, menurut data Universitas Johns Hopkins. Total global lebih
dari 388 juta kasus dan lebih dari 5,7 juta kematian.
Awal mula varian
Omicron muncul dan dinyatakan sebagai
Variant of Concern (VOC) oleh
WHO, varian ini dinyatakan memiliki gejala yang lebih ringan daripada Delta. Namun
ternyata di
Amerika Serikat, data yang terlapor membuktikan angka kematian akibat
Omicron justru lebih tinggi dibanding saat Delta melanda.
Di AS,
Omicron menyerang rata-rata 2.200 nyawa setiap hari. Data ini lebih tinggi dari varian Delta, yang memuncak pada rata-rata selama tujuh hari yakni 2.078
kematian pada September tahun lalu, menurut analisis Reuters. Artinya pernyataan bahwa
Omicron lebih ringan daripada varian Delta tetap harus diwaspadai. Meski cakupan
vaksin sudah lebih tinggi dibanding saat Delta menyerang, namun tetap saja Omicron tak bisa dianggap sepele.
Lantas mengapa begitu banyak orang masih kritis akibat
Omicron?
Omicron telah ditemukan menyebar jauh lebih cepat daripada varian Delta yang dominan sebelumnya.
Omicron dinyatakan dalam penelitian empat kali lebih mudah menular. Sebagian besar dari mereka yang sekarat akibat
Omicron di AS tidak divaksinasi. Ini menunjukkan
bahwa vaksin memang membuat perbedaan dalam mengurangi rawat inap dan kematian.
“Varian yang lebih menular cenderung menyebar melalui populasi dengan sangat cepat,” kata seorang profesor epidemiologi dan kedokteran di Universitas Columbia di New York City, Wafaa El-Sadr, mengatakan kepada Reuters.
“Kita kemungkinan masih akan melihat peningkatan rawat inap dan kematian pada mereka yang tidak divaksinasi dan tidak dikuatkan,” tambahnya.
Omicron bukan varian yang ringan, tetapi lebih ringan dibanding Delta. Karena itu tetap bisa memicu kematian. “Kami mendapatkan informasi yang semakin banyak bahwa
Omicron tidak separah Delta, tetapi masih merupakan virus yang berbahaya,” kata petinggi Organisasi Kesehatan Dunia dr. Maria Van Kerkhove.
Lansia, komorbid, anak-anak hingga mereka yang belum divaksin tetap rentan. Rumah sakit masih dipenuhi dengan kelompok rentan.
“Ini menunjukkan bahwa itu tidak separah Delta, tetapi tidak ringan,” katanya.
Rumah sakit di seluruh dunia telah berjuang dengan jumlah penerimaan karena kasus
Omicron melonjak pada bulan Desember dan Januari. Di AS dan Inggris, militer dikirim
untuk membantu mendukung rumah sakit mengatasi kekurangan staf.
Penghitungan
Reuters menunjukkan rawat inap
Covid-19 mencatat rekor di beberapa negara bagian AS pada Januari, termasuk Arkansas dan North Carolina. Ini memberikan
beban yang signifikan pada sistem perawatan kesehatan yang sudah terbebani secara signifikan mengingat kita memasuki tahun ketiga pandemi ini.
“Dan, jika orang tidak dapat menerima perawatan yang tepat yang mereka butuhkan, maka lebih banyak orang akan berakhir dengan penyakit parah dan kematian, dan itu adalah sesuatu yang ingin kami cegah,” tutup dr. Maria. (jp)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: