Minyak Goreng Disubsidi Pemerintah, Waspadai Potensi Penimbunan

Minyak Goreng Disubsidi Pemerintah, Waspadai Potensi Penimbunan

JAKARTA —  Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan, harga minyak goreng diperkirakan bertahan di atas harga normal Rp 12.500 per liter. Itu terjadi selama harga CPO, bahan baku minyak goreng, belum kembali ke level normal.

Menurut dia, harga minyak goreng Rp 14.000 per liter diharapkan bisa menjadi harga keseimbangan baru di tengah harga CPO yang masih tinggi. Memang, belum semua masyarakat bisa merasakan minyak goreng kemasan sederhana dengan banderol Rp 14.000 per liter. Pemerintah pun mendorong penambahan suplai untuk pasar. Dari target 11 juta liter, baru sekitar 4 juta liter yang didistribusikan.

”Sebanyak 7 juta liter sisanya sebagian sudah dalam line distribusi, sebagian masih on going produksi. Karena memang produsen ini akhirnya harus membagi, produksi minyak goreng premium dan minyak goreng kemasan sederhana,” ujar Oke, Kamis (6/1/2021).

Selain soal produksi yang harus extra-effort, menurut Oke, distribusi turut menjadi kendala. Di antara 70 industri minyak goreng yang dilibatkan pemerintah dalam pengadaan operasi pasar 11 juta liter minyak goreng, sebagian besar berada di Indonesia bagian barat. 

”Distribusi ke timur ini yang masih diupayakan supaya lancar dan optimal. Apalagi sekarang biaya-biaya logistik sedang mahal, produsen pasti ingin seefisien mungkin,” urainya.

Sebagaimana diputuskan sebelumnya, setelah program operasi pasar 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana, pemerintah akan melanjutkan dengan target tambahan pasokan 1,2 miliar liter minyak goreng. Yakni, dengan skema subsidi selama 6 bulan atau sekitar 200 juta liter per bulan dalam waktu 6 bulan ke depan.

Hal itu, kata Oke, akan membuat harga minyak goreng setidaknya bisa stabil di angka Rp 14.000 per liter. ”Sebanyak 200 juta liter itu juga berdasar kalkulasi rata-rata kebutuhan minyak goreng nasional per bulan,” terang dia.

Lebih lanjut, Oke membeberkan, skema subsidi yang dimaksud adalah pemerintah akan mengganti selisih harga pasar untuk produsen. 

”Jadi, misalnya, produsen A bikin produk minyak goreng dan setelah dihitung biaya bahan baku, produksi, dan lain-lain keluar angka Rp 16.700 per liter. Nah, itu akan tetap dijual Rp 14.000 ke konsumen. Pemerintah yang membayar Rp 2.700 selisihnya,” papar Oke.

Mengenai pengawasan distribusi, Oke menyebutkan bahwa pihaknya berupaya meminimalkan potensi terjadinya penimbunan. Ada dua mekanisme yang dilakukan. Pertama, memanfaatkan jaringan distribusi ritel modern untuk menyebarkan produk minyak goreng kemasan sederhana. 

”Kemudian, yang kedua adalah melabeli semua produk minyak kemasan sederhana dengan label harga Rp 14.000. Supaya ada kontrol sosial juga,” urainya.

Dianggap Kebijakan Temporer
Terpisah, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pemberian subsidi minyak goreng merupakan kebijakan yang bersifat temporer. 

”Apalagi dalam enam bulan. Jumlahnya pun tidak mencukupi total kebutuhan minyak goreng, terutama untuk UMKM dan rumah tangga menengah ke bawah,” ujarnya.

Menurut Bhima, justru dengan adanya subsidi, harus ada langkah khusus berupa pengawasan. Mulai hulu hingga hilir. Dia mewanti-wanti jangan sampai minyak goreng yang seharusnya murah karena subsidi malah dinikmati masyarakat kalangan atas. 

”Karena subsidinya bersifat terbuka kan, siapa pun boleh beli. Kalau itu yang terjadi, apakah harga minyak goreng bisa turun sampai HET (harga eceran tertinggi, Red)? Jawabannya ya belum tentu (turun),” katanya.

Sebab, lanjut dia, kebijakan subdisi akan menimbulkan migrasi dari konsumen minyak goreng mahal ke minyak goreng subsidi. Sementara itu, harga minyak goreng nonsubsidi tetap sama karena mengikuti harga CPO.

Menurut Bhima, persoalan harga minyak goreng yang melambung itu disebabkan pasokan. Harga pasokan terlalu volatile. Karena itu, perlu ada pembenahan dari sisi pasokan. Solusi lainnya, harus ada stabilitas harga CPO untuk pabrik minyak goreng.

Dia khawatir subsidi tidak menyelesaikan seluruh masalah. Apalagi, subsidi yang diberikan selama enam bulan bisa dimanfaatkan oknum-oknum untuk menimbun. Terlebih, minyak goreng merupakan komoditas yang jangka waktu ketahanannya cukup lama sehingga memang rawan disimpan atau ditimbun.

Tren harga minyak goreng ke depan, menurut Bhima, juga diprediksi masih tinggi. Mengingat, jangka waktu enam bulan ke depan berbarengan dengan momen Hari Raya Idul Fitri yang notabene diiringi kenaikan harga-harga bahan pokok. ”Justru pas momen Ramadan dan Lebaran ada kenaikan permintaan di dalam negeri,” katanya. Subsidi selama enam bulan pun dinilai tidak efektif. ”Harusnya kalau mau memberi subdisi bisa sampai akhir 2022,” sambungnya.
Sementara itu, selain minyak goreng, harga bahan pangan lainnya terpantau naik di awal tahun. Misalnya, bawang. Dalam sebulan, harga bawang putih naik Rp 1.000 per kg atau sekitar 3,42 persen. Selama setahun, harga naik Rp 1.750 per kg atau sekitar 6,15 persen.

Harga telur ayam ras juga cenderung naik. Selama sebulan terakhir, harga telur naik Rp 5.500 atau sekitar 22,13 persen. Dalam setahun terakhir, harga naik Rp 2.750 atau sekitar 9,96 persen.

Meski ada perubahan harga di awal tahun, untuk komoditas-komoditas tersebut, Kemendag meyakini tren harga bisa segera turun atau tidak berlanjut sampai Ramadan. ”Pertengahan kuartal I mudah-mudahan kembali normal,” kata Oke. (agf/dee/c19/fal/jp)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: