Lawan Kekerasan Seksual, Hannah Al Rashid Bersuara Lewat Medsos
Reporter:
tiko|
Minggu 21-11-2021,04:00 WIB
Radartasik.com - Semua tempat di dunia ini seharusnya menjadi ruang aman bagi semua orang. Sayangnya, kondisi ideal itu sulit terwujud. Bahkan di institusi pendidikan yang seluruh civitas academica-nya punya tujuan sama, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Akhir Oktober lalu perhatian publik terarah pada kasus dugaan kekerasan seksual di Universitas Riau. Pelakunya adalah dekan FISIP. Modusnya, bimbingan skripsi. Ketika sang penyintas, mahasiswi berinisial L, buka suara atas peristiwa tidak menyenangkan yang dialaminya pada 27 Oktober 2021 melalui media sosial (medsos), publik berang.
Sontak, si dekan yang berinisial SH membantah. Sebagaimana para terduga pelaku kekerasan seksual pada umumnya, dia balik melaporkan L dengan tuduhan pencemaran nama baik. Bahkan, SH meyakini ada yang mendalangi penyebaran testimoni L melalui medsos tersebut.
Pada Kamis (18/11), Kabidhumas Polda Riau Kombespol Sunarto mengumumkan penetapan SH sebagai tersangka. ”Melalui proses gelar perkara, telah ditetapkan status tersangka terhadap saudara SH dalam kasus tindak pidana dugaan perbuatan cabul,” terang Sunarto seperti dikutip Riau Pos (Jawa Pos Group).
Di Indonesia, institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi, bukanlah zona yang bebas dari predator seksual. Mereka yang menjadi korban pun tidak bisa mencari pertolongan dengan mudah di kampus. Karena itulah, medsos menjadi pelarian.
”Setiap area hidup kita itu seharusnya nyaman, aman, dan bebas dari kekerasan atau pelecehan seksual. Terutama lembaga pendidikan. Sebab, itulah tempat di mana kita bertumbuh menjadi the adult atau the person we are going to be nanti,” tegas Hannah Al Rashid dalam percakapan lewat Zoom dengan Jawa Pos Sabtu (20/11).
Artis yang kini tinggal di London itu pernah menjadi korban kekerasan seksual. Tepatnya saat dia menjadi mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam program pertukaran pelajar pada 2006.
Apa yang dirasakan Hannah merupakan potret buram institusi pendidikan tanah air. Ironisnya, tidak semua orang menganggap kekerasan seksual sebagai kejadian yang serius. ”Lembaga pendidikan harus menganggap kasus ini serius. Setiap orang berhak belajar di lingkungan yang bebas dari pelecehan seksual,” tuturnya.
Keadilan terhadap korban kekerasan seksual seharusnya ditegakkan mulai dari lembaga pendidikan. Dengan begitu, para penyintas tidak perlu takut melaporkan kejahatan pelaku. Mereka juga tidak semestinya menanggung beban mental karena ada relasi kuasa dalam kasus-kasus kekerasan seksual di kampus.
Menurut Hannah, tidak adanya payung hukum yang memadai sering membuat nyali para penyintas kekerasan seksual ciut. ”Makanya, kita sangat butuh RUU PKS. Sebab, ini akan melengkapi UU yang ada saat ini,” tegasnya.
Pemeran Lori dalam film Never Back Down Revolt itu menyatakan, sanksi sosial yang selama ini menjadi cara publik menghukum pelaku kekerasan seksual adalah bukti lemahnya hukum. Sebab, aparat penegak hukum pun sering berlaku tidak adil kepada penyintas. Mereka sering melakukan victim blaming atau guilt tripping.
Fakta-fakta itulah yang membuat para penyintas memilih medsos sebagai panggung speak up. ”Satu-satu alternatif yang dimiliki korban adalah mengungkapkan ini ke publik. Berharap viral dan diproses secara serius. Jadi, sanksi sosial adalah dampak sanksi hukum yang tidak berjalan dengan baik,” jelas Hannah.
Saat ini yang paling dibutuhkan adalah kebijakan yang berpihak kepada korban, kepada penyintas. Dimulai dengan edukasi dini tentang gender, sistem reproduksi, serta do's and don'ts dalam ranah seksual.
Hannah juga mengajak semua pihak bersedia merangkul korban. Selain empati, para korban sangat membutuhkan support group. Kelompok-kelompok itu akan bisa berdaya jika Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 berlaku. ”Yang dilakukan Mas Menteri (Nadiem Makarim, Red) itu adalah sebuah kemajuan yang luar biasa. Itu seharusnya juga diterapkan kaum pria. Bukan hanya edukasi doang,” tandasnya. (jpg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: