Gara-gara Pemilu Rakyat Irak Kian Terbelah
Reporter:
radi|
Kamis 14-10-2021,17:45 WIB
Radartasik.com, BAGDAD — Kondisi negara Irak kini semakin terpecah antara kelompok-kelompok yang pro Muqtada al-Sadr dan partai-partai yang didukung kelompok-kelompok bersenjata pro-Iran. Kelompok Pro-Iran mengecam hasil awal pemilu yang dimenangi kelompok Muqtada al-Sadr tersebut. Mereka menuding hasil pemilihan tersebut telah di manipulasi.
Sebelumnya pemilihan parlemen berlangsung hari Minggu (10/10) lalu. Namun dibawah bayang-bayang skeptisme rakyat Irak, membuat Pemilu yang kelima sejak tahun 2003 itu kurang diminati. Sehingga tingkat partisipasi pemilih pun hanya dikisaran 41 persen.
Menurut hasil awal penghitungan komisi pemilihan Irak, partai dibawah ulama dan pakar politik Muqtada al-Sadr, mendominasi raihan sura dengan angka 73 persen dan diperkirakan akan jadi mayoritas di parlemen yang beranggotakan 329 orang.
Sementara itu partai-partai pro-Iran seperti Hashd al-Shaabi, atau Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) dan aliansi Fateh raihan suaranya turun drastis meski sebelumnya partai-partai itu merupakan blok terbesar di parlemen.
“Kami akan mengajukan banding atas hasil tersebut dan kami menolaknya,” kata juru bicara partai Aliansi Fateh seperti dikutip kantor berita Politik RMOLJabar, Selasa (12/10/2021).
“Kami akan mengambil semua langkah yang tersedia untuk mencegah manipulasi suara,” tambah pernyataan yang juga ditandatangani oleh partai mantan Perdana Menteri Haider al-Abadi, yang menjabat dari 2014 hingga 2018.
Salah satu tokoh pro-Iran paling kuat di Irak, Hadi al-Amiri mengatakan, hasil itu “dibuat-buat”.
“Kami tidak akan menerima hasil yang dibuat-buat ini, berapa pun biayanya,” di telegramnya.
Salah satu faksi Hashd yang paling kuat, Brigade Hizbullah, menolak pemilihan tersebut dan menyebutnya sebagai “penipuan terbesar yang dialami rakyat Irak dalam sejarah modern”.
“Saudara Hashd al-Shaabi adalah target utama,” kata juru bicaranya Abu Ali al-Askari.
Perdana Menteri Mustafa al-Kadhimi memajukan pemungutan suara yang seharusnya digelar 2022 untuk menenangkan gerakan protes yang digelar kalangan pemuda dua tahun lalu. Gerakan itu dimotivasi oleh keinnginan melawan korupsi, pengangguran, layanan publik yang runtuh, dan pengaruh Iran dalam politik Irak.
Gerakan protes yang menelan ratusan demonstran tewas kemudian di bungkam pemerintah. Sejak saat itu, lebih banyak aktivis menjadi sasaran pembunuhan dan penculikan yang didiga dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata pro-Iran.
Perimisme dilontarkan Ali al-Nashmi, profesor Hubungan Internasional di Universitas Mustansiriyah. Ia yakin hasilnya tak jauh beda dengan Pemilu sebelumnya dan tak akan membawa perubahan apapun di Irak.
“Tidak ada yang akan terjadi… pemimpin yang sama, daftar yang sama, jadwal yang sama, dan rencana dan tujuan yang sama, tidak ada yang akan terjadi di lapangan,” katanya.
“Semua mimpi, semua harapan, semua tuntutan rakyat Irak hilang bersama angin... banyak orang berharap bahwa sesuatu akan berubah dengan pemilihan ini, tetapi mungkin [kita akan melihat] hanya beberapa perubahan,” tambahnya.
Irak adalah produsen minyak utama dunia tetapi hampir sepertiga dari hampir 40 juta penduduknya hidup dalam kemiskinan. Bahkan PBB mengungkapkan kemiskinan semakin menjadi saat pandemi Covid-19 melanda Negeri 1001 malam itu. (jpc)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: