Radartasik.com, SURABAYA - Vaksin Merah Putih yang berbasis inactivated virus karya Universitas Airlangga (Unair) menjadi salah satu inovasi yang diharapkan bisa diproduksi massal tahun depan. Di balik pembuatan vaksin karya anak bangsa tersebut, ada tim peneliti yang solid dan bekerja tanpa kenal lelah.
Tim peneliti Vaksin Merah Putih platform Unair dibentuk secara komprehensif. Dari berbagai bidang keilmuan dengan para ahli di dalamnya.
Berawal dari obrolan santai tentang keresahan kondisi pandemi Covid-19 yang menimpa Indonesia dan seluruh bagian dunia, Wakil Rektor Bidang Research, Innovation, and Community Development Unair Prof Dr Ni Nyoman Tri Puspaningsih dan Direktur Pendidikan Profesi dan Penelitian RSUD dr Soetomo Prof dr Cita Rosita Sigit Prakoeswa SpKK (K) FINSDV berinisiatif untuk ikut berkontribusi dalam membuat vaksin.
Ide itu pun disambut oleh para peneliti di lingkup Unair. Para ahli di bidang medis, biomolekuler, virologi, imunologi, dan vaksinasi membentuk tim komprehensif yang diketuai Prof drh Fedik Abdul Rantam, pakar virologi dan imunologi Fakultas Kedokteran Hewan Unair.
Ada dua platform vaksin yang awalnya dikembangkan Unair. Yakni, platform adenovirus dan inactivated virus. Dari dua platform tersebut, vaksin berbasis inactivated virus menunjukkan kemajuan yang signifikan. Di bawah pengawasan Prof Fedik, vaksin itu sudah memasuki uji praklinik tahap kedua.
''Sekarang diuji coba terhadap hewan makaka (sejenis monyet yang memiliki struktur organ menyerupai manusia, Red),'' kata Fedik kepada Jawa Pos akhir pekan lalu (14/08/2021).
Riset vaksin inactivated virus itu dimulai pada Mei 2020, lalu dieksplorasi hingga Februari 2021. Fedik melanjutkan, vaksin inactivated virus sudah diketahui ratusan tahun lalu dan memiliki lisensi.
''Keuntungan inactivated virus ini, memiliki seluruh protein dari virus yang dimatikan sehingga mampu menetralkan virus lebih baik. Itu pemikiran saya saat itu,'' ujar pria 60 tahun tersebut.
Hanya, vaksin platform inactivated virus memerlukan konsentrasi virus yang cukup dan harus aman. Dibutuhkan proses yang panjang. Salah satunya, harus mempunyai biosafety level (BSL) 3, baik upstream (proses hulu atau bahan baku vaksin) maupun downstream (proses hilir atau formulasi vaksin) dalam produksi vaksin.
''Selain itu, peralatannya membutuhkan investasi yang sangat besar,'' terangnya.
Fedik menuturkan, pekerjaan yang harus dilakukan tim peneliti sangat banyak untuk produksi vaksin berbasis inactivated virus. Salah satunya, harus menemukan metode dan formulasi yang baik untuk calon vaksin. Dengan begitu, harga vaksin bisa jauh lebih murah.
''Dari sisi virus, kami harus mencari yang stabil pertumbuhannya. Butuh proses waktu yang panjang,'' ucap pria yang pernah mengenyam pendidikan di Institute of Virology and Immunology Freie Universitaet, Berlin, tersebut.
Fedik sendiri bergelut di dunia virus sejak 1984. Di Indonesia, pria kelahiran Lamongan, 3 Oktober 1960, itu juga menjadi konsultan di PT Sanbe Farma untuk membuat vaksin inactivated virus selama 8 tahun. Namun, vaksin yang dibuatnya bukan untuk manusia, melainkan hewan.
''Di Indonesia kan baru kali ini membuat vaksin pada manusia. Jadi, memang dunia virus dan vaksin inactivated ini sudah mainan saya,'' jelasnya.
Meski berpengalaman di dunia virus, Fedik tetap mendapat tantangan yang berbeda saat membuat vaksin berbasis inactivated virus Covid-19. Sebab, virus tersebut sangat infeksius dan mematikan.
Menurut Fedik, ada keuntungan dalam pembuatan vaksin berbasis inactivated virus. Pihaknya dapat membuat dan menemukan virus yang pertumbuhannya tinggi. Kendalanya, dibutuhkan peralatan canggih. Sebab, dalam memproduksi virus, sistemnya harus tertutup agar tidak menyebar dan menularkan ke lingkungan.
''Teknologi inactivated virus sudah biasa bagi saya. Tapi, cara mencuci virus itu ada teknologinya sendiri. Proses mencuci virus setelah di-inactivated juga panjang dan harus terus divalidasi sampai bisa digunakan sebagai vaksin,'' paparnya.
Biaya yang dibutuhkan untuk peralatan step-by-step proses tersebut sangat tinggi. Selain itu, dibutuhkan usaha yang besar. Di Indonesia sendiri belum ada industri yang mau membuat vaksin inactivated virus.
''Ya karena prosesnya panjang dan butuh peralatan yang canggih serta keahlian khusus,'' imbuhnya. (jpg)