Hindari Pertumpahan Darah, Alasan Presiden Ashraf Ghani Pilih Tinggalkan Afghanistan
Hindari Pertumpahan Darah, Alasan
Presiden
Ashraf Ghani Pilih Tinggalkan
Afghanistan
KABUL - Presiden Afghanistan
Ashraf Ghani memilih meninggalkan istana kepresidenan di Kabul setelah
gerilyawan Taliban berhasil memasuki wilayah ibu kota negara tersebut, Minggu
(15/08/2021). Dua kali terpilih sebagai presiden, Ashraf Ghani melaluinya
dengan sengketa yang sengit dan meninggalkan negaranya tanpa mengatakan akan ke
mana akan pergi. Namun menurut Al Jazeera, Ashraf Ghani terbang ke Uzbekistan.
Sumber lainnya menyebutkan sang presiden pergi ke Tajikistan.
"Untuk menghindari
pertumpahan darah, saya pikir lebih baik pergi," kata Ashraf Ghani.
Seperti diketahui Ashraf Ghani
pertama kali menjabat sebagai presiden pada 2014 menggantikan Hamid Karzai yang
memimpin Afghanistan setelah invasi pasukan sekutu pimpinan AS pada 2001. Dia
mengawasi penyelesaian misi tempur AS, penarikan pasukan asing yang hampir
selesai dari Afghanistan, dan proses perdamaian yang kacau dengan pemberontak
Taliban.
Ashraf Ghani berupaya mengakhiri
perang puluhan tahun sebagai prioritas meski gerilyawan Taliban terus menyerang
pemerintahan dan pasukan keamanan. Dia memulai pembicaraan damai dengan mereka
di ibu kota Qatar, Doha, pada 2020.
Namun negara lain merasa
frustrasi dengan lambatnya kemajuan pembicaraan itu dan pada reaksi Ghani yang
makin tajam. Seruan untuk membentuk pemerintah sementara pun makin
meningkat. Selama menjabat, dia telah
mengangkat kaum muda dan berpendidikan untuk memimpin posisi yang dulu dijabat
oleh sekumpulan figur elite dan jaringan patronasi.
Ashraf Ghani berjanji memerangi
korupsi yang merajalela, membenahi ekonomi yang rusak, dan menjadikan
Afghanistan penghubung perdagangan regional antara Asia Tengah dan Selatan.
Namun, dia tak mampu memenuhi sebagian besar janjinya. Ashraf Ghani merupakan
ahli antropologi didikan AS berusia 72 tahun, menempuh program doktor di
Universitas Columbia, New York.
Dia pun pernah dinobatkan sebagai
salah satu dari "100 Pemikir Global Teratas di Dunia" oleh majalah
Foreign Policy pada 2010. Jalan menuju kursi presiden diperjuangkannya dengan
berat. Dia menghabiskan hampir seperempat abad hidupnya di luar negeri selama
beberapa dekade kekuasaan Soviet yang bergejolak, perang saudara, dan
tahun-tahun Taliban berkuasa. Selama periode itu dia bekerja sebagai pengajar
di AS, lalu pindah ke Bank Dunia dan badan-badan PBB di Asia Timur dan Selatan.
Beberapa bulan setelah pasukan
asing pimpinan AS menginvasi Afghanistan, dia mundur dari pekerjaannya dan
kembali ke Kabul untuk menjadi penasihat senior Karzai yang baru ditunjuk
menjadi presiden. Dia bertugas sebagai menteri keuangan Afghanistan pada 2002,
namun kemudian berselisih dengan Karzai. Pada 2004 dia ditunjuk sebagai
konselor Universitas Kabul, di mana dia dipandang sebagai reformis yang
efektif.
Dia juga membentuk kelompok
pemikir di Washington yang bekerja membuat kebijakan untuk memberdayakan
orang-orang miskin di dunia. Pada 2009, Ghani yang berasal dari etnis mayoritas
Pashtun seperti Karzai, mengikuti pemilihan presiden namun berada di urutan
keempat dengan raihan hanya 4 persen suara nasional.
Ashraf Ghani terus bekerja di
sejumlah posisi penting di negara itu, termasuk sebagai "tsar
peralihan" Afghanistan dengan mengepalai badan yang mengawasi transisi
keamanan dari NATO ke Afghanistan. Saat Karzai tak lagi bisa dipilih sebagai
presiden, Ghani meraih sukses dalam pencalonan dirinya yang kedua pada 2014.
Dia lalu terpilih lagi pada 2019. Hubungannya dengan Washington dan negara
Barat lain tidak berjalan mudah
Dia menjadi kritikus yang vokal
atas apa yang disebutnya sebagai bantuan internasional yang sia-sia di
Afghanistan dan sering tidak sejalan dengan strategi Barat di negara itu,
terutama terkait proses perdamaian yang lambat dan menyakitkan dengan Taliban.
Dalam sebuah wawancara dengan
BBC, Ashraf Ghani mengatakan: "Masa depan kami ditentukan oleh orang-orang
Afghanistan, bukan oleh seseorang yang duduk di belakang meja sambil
bermimpi".
Sementara itu, kepala lembaga
perdamaian Afghanistan Abdullah Abdullah tidak lagi menganggap Ghani sebagai
presiden Afghanistan. Dalam pesan melalui video, Minggu, Abdullah menggambarkan
Ghani sebagai mantan presiden.
Beberapa jam setelah kelompok
Taliban memasuki Kabul, Abdullah mengeluarkan pernyataan yang menyalahkan Ghani
atas situasi yang berlangsung saat ini di Afghanistan. Perwakilan Taliban,
sementara itu, mengatakan kelompok tersebut sedang memeriksa keberadaan
Presiden Ghani.
Petempur-petempur Taliban sedang
memasuki ibu kota “dari semua sudut”, kata seorang pejabat tinggi kementerian
dalam negeri kepada Reuters. Tidak ada laporan bahwa terjadi pertempuran.
Juru bicara Taliban, Zabihullah
Mujahid, mengatakan kelompoknya bersiaga di daerah-daerah pinggir kota dan
sedang berbicara dengan pemerintah Afghanistan —yang didukung negara-negara
Barat— untuk meminta pemerintah menyerah secara damai.
“Para petempur Taliban sedang
bersiaga di semua pintu masuk Kabul sampai peralihan kekuasaan secara damai dan
memuaskan disetujui,” katanya.
Para perwakilan Taliban dan
pemerintah Afghanistan sebelumnya dijadwalkan melakukan pertemuan di Qatar pada
Minggu, kata anggota tim perunding pemerintah, Fawzi Koofi, kepada Reuters.
(reuters/antara/jpnn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: