“Jadi judulnya bantuan hibah, tetapi di dalamnya malah merampas hak uang rakyat dan negara. Seharusnya penerima mendapatkan Rp 100 juta, malah dapat Rp 20 juta, kan keterlaluan,” jelasnya.
Maka dari itu, ungkap dia, agar tidak terulang atau terjadi kembali kasus seperti pemotongan ini, pemegang kebijakan atau bupati dalam hal ini harus bertanggung jawab membenahi sistem dan teknis dalam penyaluran bantuan keuangan ini.
“Seharusnya bantuan keuangan hibah atau bansos ini semuanya harus 100 persen diterima oleh penerima. Itu sudah menjadi haknya lembaga atau yayasan yang menerimanya,” dorong dia.
Pada umumnya, lanjut dia, yang menerima bantuan keuangan hibah ini kan lembaga atau yayasan. Sementara aturan administrasi dibentuk, harus ada SK Kemenhumkam, tetapi realisasi di lapangan malah seperti ini terjadi pemotongan. “Saya mendukung, kasus dugaan pemotongan Hibah Pemkab Tasikmalaya 2018 ini masuk ke ranah hukum dan diusut. Kalau bisa semua, bukan hanya 2018, dari 2011 sampai saat ini,” terang dia.
“Kalau diakumulasikan jumlahnya mungkin bisa mencapai triliun sekian tahun dari APBD. Artinya penerima hanya menjadi korban, yang untung adalah perorangan atau oknum. Apakah itu bentuknya tim atau pribadi. Jadi ini sudah terikat sistem, kalau semua peduli bahwa ini salah maka bisa semua kena. Baik itu eksekutif atau legislatif,” ujar dia, menjelaskan.
“Saya sudah beberapa kali memberikan peringatan kepada bupati dan kepala dinas, jangan sekali-kali merampas uang negara dengan dalih bantuan keuangan,” tambah dia.
Selanjutnya, dorong dia, kepada penegak hukum harus ada keberanian untuk mengusut tuntas. Karena fenomena pemotongan hibah ini akan menjadi penyakit kronis kalau belum ada efek jera bagi para pelakunya.
“Jadi harus disisir, dari mulai kebijakan bupati sampai keluar SK dan realisasi. Kasihan lah para penerima atau masyarakat. Jadi harus satu pintu perbaikan sistem penyalurannya, ada bantuan sosial dari Dinas Sosial, bantuan lembaga ada kesejahteraan masyarakat, jadi tidak harus lagi ada biaya lain atau pemotongan,” katanya.
Jadi sekali lagi, tegas dia, jangan sampai yang dikorbankan itu adalah penerima. Intinya kalau yang menerima bantuan berapa pun pasti akan diterima. Akan tetapi dari mulai kebijakan sampai proses eksekusi ada mainan yang tidak sehat.
“Saya tidak mendukung, kalau penerima itu dihukum. Karena meraka hanya berpikir berapa pun bantuannya pasti diterima dan penerima menjadi korban sistem. Dan oknum yang memotongnya harus diusut tuntas diproses hukum,” tambah dia.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Tasikmalaya Dedi Mulyadi mengatakan, untuk dorongan dalam kasus Hibah Pemkab Tasikmalaya 2018, penegak hukum bisa mengusut tuntas kasus dugaan pemotongan tersebut sampai kepada dalangnya.
“Hibah ini memang sangat membantu masyarakat atau lembaga yayasan, tetapi kan harus jelas peruntukannya dan tepat sasaran juga kalau bisa tidak ada pemotongan. Sekarang ada pemotongan sampai setengahnya lebih, itu keterlaluan kasihan penerima,” ujarnya kepada Radar, Minggu (1/8/2021).
Dedi menganggap bahwa penerima bantuan semacam hibah ini kebanyakan lembaga atau yayasan pendidikan keagamaan. Jadi pada umumnya ada yang mengerti atau awam, tidak tahu, dibujuk dan dirayu akan mendapatkan bantuan. Maka harus ada kebijakan atau pertimbangan hukum agar penerima tidak menjadi korban dan tersangkut hukum.
“Kalau yang melakukan pemotongankan kebanyakan orang-orang yang mengerti dan mempunyai jabatan serta akses dalam pengalokasian anggaran tersebut. Jadi buat apa minta potongan, apalagi yang bukan haknya. Maka sangat mendorong kejaksaan mengusut kasus ini, apalagi hibah ini uang negara,” paparnya.
Dia menambahkan, nasib penerima ini sebenarnya di satu sisi membutuhkan bantuan untuk sarana prasarana, di sisi lain menjadi korban pemotongan. Apalagi pemotongannya tidak wajar, bisa sampai 70-80 persen.
“Ketika mau digunakan uang bantuan hasil dipotong, mau seperti apa jadinya untuk dibangun juga mungkin tidak akan cukup ke mana-mana. Jadi kalau sekarang ditangani kejaksaan dan menjadi temuan BPK, tinggal proses saja dan hukum oknum atau dalang yang melakukan pemotongannya, kalau penerima hanya korban,” paparnya.
(dik)