Katak Kaki Pucat di Garut, Ini Penjelasan LIPI
Reporter:
ocean|
Minggu 01-08-2021,20:15 WIB
Radartasik.com, BOGOR — Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan katak kaki pucat pantaiselatan alias chirixalus pantaiselatan di hutan dataran rendah wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Chirixalus pantaiselatan merupakan kelompok katak rhacophorid kecil dengan panjang tubuh jantan 25,3-28,9 mm.
Setelah dilakukan analisis morfologi, molekuler dengan menggunakan DNA mitokondria dan suara kawin, maka jenis tersebut tidak cocok dengan jenis dari marga yang sudah ada.
Oleh karena itu, didukung oleh bukti morfologi, molekuler, dan akustik maka jenis ini dideskripsikan sebagai jenis baru.
Peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI Amir Hamidy yang turut sebagai salah satu penulis dalam penelitian ini menyatakan chirixalus pantaiselatan sp. nov. secara morfologi paling mirip dengan chirixalus nongkhorensis dari Chonburi, Thailand.
”Pola warna punggungnya serta secara genetik paling dekat dengan chirixalus trilaksonoi yang juga berasal dari Jawa Barat,” ujar Amir dikutip dari lama resmi LIPI, Minggu (01/08/2021).
Selain Amir, Misbahul Munir yang merupakan salah satu kontributor utama dari penemuan ini, menambahkan saat ini status konservasi chirixalus pantaiselatan kemungkinan terancam kritis.
”Berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) kriteria daftar merah spesies terancam tingkat kemunculannya <100 km2, luas huniannya <10 km2, dan hanya ditemukan di satu lokasi yang kualitas habitatnya menurun,” jelas dia.
Sementara itu, usulan status daftar merah IUCN untuk jenis baru ini didasarkan pada data yang terbatas dan membutuhkan survei intensif untuk justifikasi yang lebih kuat.
Dalam publikasi, jenis baru chirixalus pantaiselatan sp. nov. ini juga ditemukan jenis katak lain yang belum pernah dilaporkan dari Jawa, yakni polypedates macrotis (katak panjat telinga hitam).
Sebelumnya, di Indonesia jenis ini hanya tercatat dari wilayah Kalimantan dan Sumatera, sehingga kehadirannya di Jawa merupakan catatan baru.
Amir menyoroti pentingnya partisipasi publik dan keterlibatan ilmiah profesional dalam pemantauan keanekaragaman hayati.
”Pengetahuan dan keterlibatan masyarakat dapat memberikan data empiris tentang skala spasial yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujarnya.
Kurangnya informasi keanekaragaman hayati (misalnya, distribusi, populasi, dan informasi habitat dari spesies) adalah masalah serius dalam program konservasi keanekaragaman hayati di negara berkembang seperti Indonesia.
Partisipasi publik yang dikelola dengan baik akan dapat membantu menyelesaikan masalah ini di masa depan. (lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: