PR Panjang Perlindungan Perempuan dan Anak di Tasikmalaya: Kasus Kekerasan Terus Meningkat

PR Panjang Perlindungan Perempuan dan Anak di Tasikmalaya: Kasus Kekerasan Terus Meningkat

Praktisi Perlindungan Anak dan Perempuan, Ipa Zumrotul Falihah. istimewa for radartasik.com--

TASIKMALAYA, RADARTASIK.COM – Di usia ke-24 tahun Kota Tasikmalaya, sorotan publik tak hanya tertuju pada kemajuan pembangunan dan perayaan hari jadi. 

Di sisi lain, persoalan perlindungan anak dan perempuan masih menjadi pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan.

Data pertengahan 2025 mencatat, sudah ada 170 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Tasikmalaya, meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya yang baru mencapai sekitar seratus kasus hingga akhir tahun.

Direktur Taman Jingga sekaligus praktisi perlindungan anak dan perempuan, Ipa Zumrotul Falihah, menyebut lonjakan ini sebagai alarm sosial yang tidak boleh diabaikan.

BACA JUGA:Cair Pekan Ini Dana BOS Madrasah dan BOP RA 2025 Rp 4 Triliun

“Bisa jadi peningkatan pelaporan karena kesadaran masyarakat makin tinggi. Tapi kalau bicara jangka panjang, menekan angka kekerasan tidak bisa dilakukan secara instan,” ujarnya, Jumat 17 Oktober 2025.

Menurut Ipa, perlindungan anak dan perempuan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga masyarakat. 

“Kalau semua hanya menunggu pemerintah, ya tidak akan selesai. Perlindungan itu kerja bersama keluarga, masyarakat, dan negara,” tegasnya.

Ia juga menyoroti minimnya gerakan nyata dari kalangan legislatif perempuan di Kota Tasikmalaya. 

BACA JUGA:Warga Tasikmalaya Soroti Rencana Pinjaman Daerah Rp230 Miliar: Jangan Jadi Beban di Masa Depan

Meski kini ada tujuh anggota dewan perempuan di periode 2024–2029, Ipa menilai isu kesetaraan gender belum terangkat maksimal dalam kebijakan publik.

“Representasi itu penting, tapi lebih penting lagi bagaimana mereka membawa isu perempuan ke ranah kebijakan. Belum terlihat langkah konkret,” ujarnya.

Lebih jauh, Ipa menilai budaya patriarki yang masih kuat menjadi akar dari banyak persoalan kekerasan. 

Dalam struktur sosial seperti itu, perempuan sering ditempatkan sebagai pihak kedua, sementara anak-anak menjadi kelompok rentan yang mudah disubordinasikan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait