Mahasiswa Universitas Siliwangi Desak Rektorat Tak Lagi Menutupi Kasus Dugaan Kekerasan Seksual

Mahasiswa Universitas Siliwangi Desak Rektorat Tak Lagi Menutupi Kasus Dugaan Kekerasan Seksual

Sejumlah mahasiswa Universitas Siliwangi berunjuk rasa saat kuliah perdana angkatan 2025 di Kampus 2, Kelurahan Mugarsari, Kecamatan Tamansari, Rabu 20 Agustus 2025. ayu sabrina / radar tasikmalaya--

TASIKMALAYA, RADARTASIK.COM - Puluhan mahasiswa Universitas Siliwangi (Unsil) mendesak rektorat segera mengambil langkah tegas terkait dugaan kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang dosen. 

Mereka menilai kampus lamban dan terkesan menutupi kasus, sehingga menciptakan rasa tidak aman di lingkungan perkuliahan.

Desakan itu disuarakan saat mahasiswa menggelar aksi di tengah kegiatan kuliah perdana mahasiswa baru angkatan 2025 di Kampus 2 Unsil, Kelurahan Mugarsari, Kecamatan Tamansari, Kota Tasikmalaya, Rabu 20 Agustus 2025.

Azril Rifan Alfarizi, perwakilan mahasiswa, menegaskan kasus tersebut sudah dilaporkan ke Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKPT) Unsil sejak 7 Juni 2025, namun hingga kini belum ada keputusan akhir.

BACA JUGA:Asyiknya, Kini di Jepang Bisa Bayar dengan QRIS Cross Border, Cek Cara Transaksinya di Luar Negeri

“Keamanan kampus dipertanyakan, apalagi sekarang ada mahasiswa baru. Kami menolak jika dosen terlapor kembali mengajar,” katanya.

Mahasiswa menilai pihak rektorat belum serius menindaklanjuti laporan. Mereka khawatir budaya tutup mata masih terjadi dengan alasan menjaga nama baik institusi.

“Mahasiswa baru harus tahu kondisi sebenarnya. Ada kasus kekerasan seksual yang belum ditangani serius,” ucap Azril.

Ia menekankan perlunya ketegasan pimpinan kampus agar kasus serupa tidak berulang, meski sudah ada regulasi Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang PPKS.

BACA JUGA:Klasemen Sementara Super League 2025/2026: Persija Perkasa, Persib Masih Tertahan

“Keputusan pemimpin jangan hanya menunggu. Tegaslah kepada pelaku yang terbukti bersalah,” ujarnya.

Dosen terlapor diketahui masih berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), meski sudah tidak aktif mengajar. 

Status kepegawaiannya disebut memperumit sanksi yang harus diputuskan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Situasi itu membuat mahasiswa menuntut agar kepentingan korban lebih diprioritaskan daripada nama baik institusi.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait