Anak-Anak Tasikmalaya Ungkap Isi Hati ke Wali Kota, "Kami Ingin Didengar, Bukan Dimarahi"

BACA JUGA:BRI Salurkan KUR Rp 83,38 triliun, Pertanian Jadi Motor Utama

“Suara anak jangan hanya dijadikan seremoni tahunan. Mereka harus dilibatkan secara nyata dalam pembangunan, karena mereka juga bagian dari warga kota,” tegasnya.

Menurut Rina, anak-anak yang hadir berasal dari berbagai latar belakang, termasuk anak jalanan, penyandang disabilitas, hingga korban kekerasan. 

Suara mereka menjadi potret nyata tantangan yang masih dihadapi dalam mewujudkan Kota Layak Anak.

Salah satu tantangan utama, lanjutnya, adalah minimnya keterlibatan anak dalam proses perencanaan kebijakan.

BACA JUGA:Penemuan Machu Picchu hingga Olimpiade Tokyo Digelar Tanpa Penonton

“Masih banyak anak yang merasa suaranya tidak dianggap. Padahal, mereka tahu apa yang mereka butuhkan,” ucap Rina.

KPAD juga mencatat lebih dari 200 kasus kekerasan terhadap anak sejak 2022 hingga pertengahan 2025 di Kota Tasikmalaya. 

Kekerasan seksual menjadi kasus paling dominan, disusul kekerasan fisik, psikis, penelantaran, hingga konflik pengasuhan.

“Ini alarm bagi kita semua, bahwa perlindungan anak masih darurat,” ujar Rina.

BACA JUGA:Bus Primajasa Ubah Tarif Kawasan, Tarif Baru Bus Tasikmalaya - Bekasi Jadi Segini!

Ia menambahkan bahwa tantangan perlindungan anak kini semakin kompleks, salah satunya karena pengaruh negatif media sosial yang tidak terfilter.

“Kita perlu kerja sama lintas sektor agar anak-anak kita tumbuh di lingkungan yang aman, sehat, dan mendukung,” katanya.

KPAD mendorong semua pihak, termasuk pemerintah, sekolah, dan keluarga untuk menjadikan suara anak sebagai rujukan dalam kebijakan. 

Karena di balik surat sederhana dan pidato polos mereka, tersembunyi harapan besar untuk masa depan kota.

Sumber: