TAWANG — Kebijakan pemerintah soal pelaku usaha dan penyelenggara kegiatan yang harus membayar royalti lagu bagi pemilik hak cipta dinilai membingungkan. Terlebih, teknis pembayaran royalti tersebut pun belum begitu jelas.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021, pelaku usaha harus membayar royalti untuk setiap lagu yang diputar di tempat usaha mereka. Restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, diskotek, semua angkutan umum (pesawat udara, bus, kereta api dan kapal laut), bioskop, nada tunggu telepon, bank, kantor, pertokoan, pusat rekreasi, lembaga penyiaran televisi dan radio, hotel beserta semua fasilitasnya dan tempat karaoke.
Pengelolaan royalti akan dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Pelaku usaha bisa melakukan pengajuan izin dan harus melaporkan penggunaan lagu atau musik kepada LMKN melalui Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (SILM).
Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Tasikmalaya, Ajat Setiawan mengatakan aturan itu sudah ada sejak lama. Namun banyak perdebatan sehingga akhirnya tidak berjalan efektif. ”Dulu sempat ramai dan jadi perdebatan,” ujarnya.
Namun dia pun belum begitu mengerti maksud pemerintah mengeluarkan PP baru yang masih membahas hal tersebut. Termasuk teknis pelaksanaan pembayaran royalty tersebut. “Belum bisa banyak ngomong, masih bingung,” katanya.
Manager Marketing Mayasari Plaza, Andi Gumillar pun belum bisa banyak memberikan tanggapan. Karena soal royalty bagi pemilik hak cipta ini bukan hal baru. “Dulu juga ada,” terangnya.
Beda halnya dengan Pengelola Remidial Caffe Asep Rismawan yang mengatakan kebijakan itu seolah tidak terukur. Karena teknis pelaksanaannya tidak akan mudah diterapkan. “Tidak akan semua bisa dimonitor, pada akhirnya penerapannya ada potensi tebang pilih,” ungkapnya.
Baca juga : Jelang Ramadan, Pemkot Tasik Prediksi Kenaikan Bahan Pokok
Terlebih, dia memutar lagu di kafe yang dikelolanya itu secara online. Sehingga setiap lagu yang diputar, pemilik hak cipta secara otomatis sudah mendapat keuntungan.
“Jadi wajar jika saya akan menolak kalau ditagih royalti, mereka kan sudah dapat royalti dari Youtube dan aplikasi musik online lainnya,” katanya.
Namun demikian, pihaknya pun masih perlu mengkaji lebih detail soal kebijakan tersebut. Karena sebelumnya Indonesia pun sudah memiliki UU Hak Cipta yang mengatur hal tersebut. “Saya perlu pelajari dulu aturannya yang baru ini,” katanya. (rga)
Justru, lanjut Asep, jika pada akhirnya pengelola usaha yang menggunakan aplikasi resmi berhenti memutar musik, malah akan jadi kerugian bagi pemilik hak cipta. “Kalau lagu yang diputar secara online berkurang, otomatis pendapatan mereka juga berkurang dong,” terangnya.
Terpisah, Ketua Dewan Kesenian Kota Tasikmalaya (DKKT) Bode Riswandi menyebutkan bahwa sebuah karya termasuk lagu dan musik merupakan produk yang dilindungi. Royalti tentu menjadi hak bagi pemilik hak ciptanya. “Idealnya memang seperti itu, apalagi untuk hal yang komersil,” ujarnya.