Damaskus berjalan di beberapa kecamatan percontohan seperti Mangkubumi, Kawalu, dan Tamansari.
Namun, program ini tak berhenti pada penyusunan menu saja.
Ada edukasi cara memasak higienis yang diberikan kepada para kader, agar makanan yang dibagikan benar-benar aman dan bergizi.
“Skalanya memang terbatas, tapi justru itu yang membuat edukasi bisa lebih terkontrol,” terang Sumarto.
BACA JUGA:RPJMD Kabupaten Tasikmalaya 2025–2029 Fokus Dua Tahun Perbaikan Jalan, DPRD Ingatkan Layanan Dasar
Tak hanya balita stunting, sasaran program juga meliputi ibu hamil dengan kekurangan energi kronis (KEK) hingga lansia.
Distribusi makanan dilakukan sederhana. Yaitu dimasak di dapur komunitas, lalu langsung dibagikan.
Risiko keracunan pun minim, karena makanan tidak pernah menginap.
Terhenti di Tengah Jalan
BACA JUGA:Penemuan Neptunus, Berdirinya Arab Saudi, hingga Hari Maritim Nasional Indonesia
Sayangnya, usia Damaskus tidak panjang. Setelah pergantian kepala daerah, program ini berhenti. Faktor politik diduga dianggap menjadi salah satu penyebab.
“Damaskus itu program era Pj Wali Kota. Setelah berganti, program pun ikut berganti,” kata Sumarto, sedikit menyayangkan.
Kini, ketika MBG digalakkan secara nasional, Damaskus seolah tenggelam dalam arsip.
Padahal, pengalaman lokal ini menunjukkan bahwa Kota Tasikmalaya pernah satu langkah lebih maju.
Pelajaran untuk Masa Depan