TASIKMALAYA, RADARTASIK.COM – Di sudut Kelurahan Panyingkiran, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, tersembunyi sebuah rumah industri kecil yang berjuang mempertahankan warisan budaya lokal kerajinan Payung Geulis.
Ikon yang kerap tampil dalam gelaran Tasik Oktober Festival (TOF) ini memiliki sejarah panjang yang mulai meredup seiring waktu.
Ariyanti Yusup, Duta Pendidikan Provinsi Jawa Barat asal Kota Tasikmalaya, merasa perlu turun tangan untuk menggali lebih dalam dan membangkitkan kembali minat generasi muda terhadap ikon budaya ini.
Ariyanti, seorang mahasiswi Universitas BTH Kota Tasikmalaya, menyambangi rumah produksi Payung Geulis Karya Utama milik Sandi Mulyana.
Dalam kunjungannya, ia mengeksplorasi sejarah dan kondisi terkini dari kerajinan yang telah ada sejak tahun 1923 ini.
“Ternyata, Payung Geulis pertama kali masuk ke Tasikmalaya sebagai Payung Sieum di Babakan Payung, bukan di Panyingkiran,” ujar Ariyanti.
Menurut cerita Sandi, dulu payung ini bukan sekadar simbol estetika, melainkan juga simbol perlawanan terhadap penjajah.
Ariyanti menemukan bahwa tantangan utama yang dihadapi para pengrajin adalah usia mereka yang semakin lanjut dan minimnya regenerasi.
BACA JUGA:Kapolres Tasikmalaya Spontan Berikan Sepatu PDL kepada Petugas Linmas saat Apel Besar
“Mayoritas pengrajin sudah tua, dan belum ada penerus yang siap melanjutkan. Ini menjadi perhatian serius bagi kelestarian Payung Geulis,” ungkapnya.
Meskipun demikian, momentum event besar seperti TOF membantu menghidupkan kembali semangat para pengrajin, dengan lonjakan pesanan yang signifikan selama acara berlangsung.
Dalam obrolan bersama Sandi, Ariyanti juga belajar tentang lima motif klasik yang menghiasi Payung Geulis, yaitu Katuncar Mawur, Merak Ngibing, Sebrot Kenon, Mis Ribut, dan Sitiak Bari.
Motif-motif tersebut bukan hanya mempercantik payung, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mengakar pada budaya Tasikmalaya.
BACA JUGA:Berbagai Pemberitaan Miring Tentang Betrand Peto Muncul di Media, Betrand Peto Minta Kembali Ke NTT