“Bapak sengaja bertanya begitu karena kebiasaan orang Madura yang menyebut warna biru daun untuk daun yang berwarna hijau. Jadi semuanya biru,” kisahnya sembari tertawa.
Farid pun pun mencoba mendaftar dan setelah melalui serangkaian test, ia lulus.
“Alasan saya waktu itu karena kuliah IPB maka tentu saja orang tua saya akan mengeluarkan biaya banyak, sementara masih ada kakak saya yang kuliah. Saya pun mendaftar di Akabri dan lulus. Dan itu tanpa katabelece atau orang dalam ya,” kisahnya kemudian.
Ditugaskan di Sierra Leone
Usai lulus dari Akabri, Farid Makruf langsung diperintahkan masuk Korps Pasukan Khusus, pasukan elit yang sudah tersohor sejak lama itu.
Pada 1992-1994 ditugaskan di Timor Timur. Pada 2003-2004, Farid Makruf yang masih berpangkat Kapten ditugaskan bergabung dengan UNAMSIL (United Nation Mission in Sierra Leone).
Misi ini dibentuk oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak Oktober 1999 untuk membantu pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian Lomé.
Sebuah perjanjian yang dimaksudkan untuk mengakhiri perang saudara Sierra Leone, Afrika Barat.
Setelahnya, dia banyak menerima penugasan. Termasuk menjadi Danbrigif 13/Galuh 2011-2013.
Saat menjadi Danbrigif 13/Galuh 2011-2013, Farid Makruf menjadi Ketua Forum Peduli Tasik (FPT).
Forum Peduli Tasik (FPT) ini berisi perwira TNI, Polri, pimpinan daerah, akademisi, professor, ulama, pebisnis, banker dan tokoh masyarakat dan lainnya.
Lalu Asops Kasdam IX/Udayana 2013—2014, Kasrem 121/Alambhana Wanawai 2016, menjadi Danrem 162/Wira Bhakti, Mataram 2016-2018 sampai Danrem 132/Tadulako, Palu.
Nah, di Palu, Farid Makruf menjadi wakil Penanggung Jawab Kendali Operasi (PJKO) Operasi Tinombala.
Kemudian Operasi Madago Raya yang memburu kelompok sipil bersenjata Mujahiddin Indonesia Timur.
Bertugas di Palu, tak ubahnya mengulang apa yang sudah dikerjakannya di Mataram, NTB.